Opini
Opini: Mengajar dan Tren Melaporkan
Dahulu, otoritas guru ditopang oleh nilai sosial yang menempatkan guru sebagai orang tua kedua di sekolah.
Dahulu, otoritas guru ditopang oleh nilai sosial yang menempatkan guru sebagai orang tua kedua di sekolah.
Dalam budaya Timur, khususnya di Indonesia, guru bukan sekadar profesi, melainkan figur yang dihormati.
Kini otoritas tersebut goyah, digerus oleh paradigma legalistik yang memperlakukan guru bukan sebagai pendidik, melainkan sebagai pelayan administrasi dan target pelaporan.
Ketika anak merasa lebih berhak melaporkan daripada belajar mendengarkan, maka yang hilang bukan hanya wibawa guru, tetapi juga makna pendidikan.
Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidik harus menjadi panutan, pemberi semangat, dan pengarah yang arif.
Dalam semboyannya, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, terkandung pesan tentang kehadiran guru sebagai teladan moral, bukan hanya penyampai materi.
Namun dalam situasi kini, guru dipaksa mundur dari posisi ini oleh tekanan hukum dan kekhawatiran sosial.
John Dewey, tokoh pendidikan progresif, percaya bahwa pendidikan adalah proses sosial yang bergantung pada komunikasi timbal balik.
Ia menolak pendekatan otoriter, tetapi bukan berarti menolak kehadiran otoritas pendidik. Yang ditolak adalah kekuasaan yang membungkam, bukan bimbingan yang memanusiakan.
Sayangnya, dewasa ini, semua bentuk otoritas guru sering disalahpahami sebagai represi. Padahal yang kita butuhkan adalah otoritas yang mendewasakan, bukan dominasi yang menindas.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang semestinya menjamin kebebasan dan martabat semua pihak, kini justru diterjemahkan secara terbalik.
Seringkali yang lebih kuat secara hukum justru adalah siswa dan orang tua, sementara guru yang rentan karena ketidakseimbangan posisi justru tak mendapat perlindungan.
Ketika HAM kehilangan akhlak, maka yang terjadi adalah HAM sebagai alat balas dendam, bukan jaminan keadilan. Ini bukan sekadar ironi, tapi kemunduran peradaban pendidikan.
Ketakutan yang dirasakan para guru hari ini lahir dari pengalaman konkret: pelaporan sepihak, penyebaran video tanpa konteks, tekanan dari orang tua, hingga rasa waswas terhadap interpretasi hukum yang kaku.
Guru bukan lagi merasa sebagai pendidik, melainkan seperti pesakitan yang berjalan di lorong pengadilan sosial.
Goldy Ogur
Opini Pos Kupang
Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
POS-KUPANG. COM
profesi guru
kekerasan terhadap anak
Ki Hajar Dewantara
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.