Opini

Opini - Mengurai Krisis BBM di Sabu Raijua: Saatnya Solusi Konkret dan Berkelanjutan

Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, kembali menjadi sorotan publik. 

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
MICHA RATU RIHI - Staf Pengajar di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Micha Snoverson Ratu Rihi. 

Oleh: Micha Snoverson Ratu Rihi
(Dosen Politeknik Pertanian Negeri Kupang)

POS-KUPANG.COM - Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, kembali menjadi sorotan publik. 

Berita antrian panjang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), panic buying, hingga tudingan penimbunan, bukan lagi cerita baru bagi masyarakat pulau kecil ini.

Puncaknya, DPRD bersama pemerintah daerah menggelar rapat gabungan komisi pada 4 September 2025 untuk merumuskan langkah konkret mengatasi krisis yang berulang ini.

Namun, pertanyaan mendasar perlu kita ajukan: apakah solusi yang ditawarkan cukup untuk memutus lingkaran masalah BBM di Sabu Raijua, atau hanya akan menjadi obat sementara yang tak kunjung menyentuh akar persoalan?

BBM sebagai Nadi Kehidupan Ekonomi Sabu Raijua

Di daerah kepulauan seperti Sabu Raijua, BBM bukan sekadar komoditas energi, melainkan nadi kehidupan. Nelayan membutuhkan solar dan Pertalite untuk melaut, petani menggunakan BBM untuk menggerakkan pompa air di lahan kering, dan masyarakat luas bergantung pada BBM untuk transportasi darat maupun laut.

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan, jumlah nelayan di Sabu Raijua pada 2016 tercatat 2.024 orang, yang terdiri dari 307 nelayan penuh waktu, 804 nelayan sambilan utama, dan 913 nelayan sambilan tambahan.

Di sisi lain, data ERI Korlantas Polri menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, jumlah kendaraan bermotor di Sabu Raijua mencapai 5.770 unit, terdiri dari 5.290 sepeda motor, 238 mobil bermuatan, 220 mobil penumpang, 8 bus, dan 14 kendaraan khusus.

Dengan populasi sekitar 94.860 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 460,47 km⊃2;, kebutuhan energi di Sabu Raijua jelas sangat besar. Tak hanya itu, Sabu Raijua juga memiliki potensi budidaya rumput laut seluas 2.300 hektar, namun baru sekitar 311 hektar (13,16 persen) yang dimanfaatkan. Semua sektor ini—perikanan, pertanian, transportasi, dan kelautan—bergantung pada pasokan BBM yang lancar.

Ketika BBM langka, dampaknya langsung terasa: hasil tangkapan nelayan berkurang, irigasi pertanian tersendat, harga bahan pokok melonjak, dan mobilitas masyarakat lumpuh.

Pada saat yang sama, kondisi geografis kepulauan yang jauh dari pusat distribusi membuat setiap keterlambatan pasokan menjadi sangat krusial.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton, bahkan menyoroti maraknya praktik penjualan BBM bersubsidi lewat pengecer ilegal.

Menurutnya: “Akibatnya warga terpaksa membeli pertalite … dengan harga sebesar Rp 30.000–35.000 per botol Aqua ukuran besar.” Ombudsman Republik Indonesia. Pernyataan ini menggambarkan betapa seriusnya dampak distribusi yang tidak terkendali terhadap masyarakat kecil.

Kondisi Infrastruktur SPBU: Masih Minim

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved