Opini
Opini: Satu Dekade Dana Desa di NTT: Pelajaran untuk Koperasi Merah Putih
Jika dihitung efektivitas investasi, setiap 1 triliun rupiah Dana Desa di NTT hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,14%.
Kisah Pahit BUMDes: Ketika Harapan Tak Selaras dengan Kenyataan
Salah satu wujud nyata persoalan ini adalah nasib BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Berdasarkan data LKIP Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi NTT tahun 2023, terdapat 3.137 BUMDes yang tersebar di NTT.
Dari jumlah ini hanya 1.476 yang merupakan BUMDes aktif. Sementara data dari Kemendes PDTT menyebutkan BUMDes di NTT yang terdaftar pada Kementerian Desa PDTT berjumlah 624 BUMDes (20 % ).
Lebih mengkhawatirkan lagi, monitoring Senator NTT Abraham Liyanto pada 2021 menunjukkan bahwa kurang dari 10 % BUMDes di NTT yang benar-benar berhasil menjalankan fungsinya sebagai unit usaha produktif.
Situasi BUMDes ini bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap inisiatif ekonomi kolektif.
Masyarakat menjadi skeptis terhadap program-program sejenis di masa depan, dan ini bisa berdampak pada program serupa seperti Koperasi Merah Putih (KMP) yang baru dikerjakan Tahun 2025 ini.
Pembelajaran untuk Koperasi Merah Putih
Pengalaman satu dekade Dana Desa di NTT harusnya menjadi pelajaran berharga bagi KMP. Pelajaran pertama adalah pentingnya kontekstualisasi program.
Setiap desa memiliki DNA unik yang membutuhkan pendekatan khusus. KMP bisa memanfaatkan data IDM atau Indeks Desa sehingga pendekatan one-size-fits-all harus hindari.
Menggunakan model yang sama untuk semua daerah tanpa mempertimbangkan karakteristik lokal telah terbukti tidak efektif dalam kasus Dana Desa.
KMP harus resisten terhadap godaan untuk menstandarisasi semua prosedur dan layanan. Meskipun standarisasi memiliki kelebihan dalam hal efisiensi dan kontrol kualitas, namun dalam konteks daerah yang sangat beragam di Indonesia, fleksibilitas dan adaptasi lokal menjadi lebih penting.
Mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, Gubernur dan Bupati harus mengeluarkan aturan khusus yang kontekstual sesuai dengan prioritas pembangunan di wilayahnya.
Pelajaran kedua adalah terkait SDM dan kapasitas lokal. Keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM di desa terpencil dan atau tertinggal bukan sekadar hambatan teknis, tetapi tantangan fundamental.
Mengabaikan kapasitas local dan memaksakan target dan program yang melebihi kapasitas SDM lokal terbukti telah menyebabkan program pembangunan (seperti BUMDes) gagal.
KMP harus realistis dalam menetapkan target dan mengembangkan program yang sesuai dengan kapasitas yang ada. Ini bukan berarti menurunkan standar, tetapi mengembangkan capacity building yang bisa meningkatkan kapasitas secara bertahap.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.