Opini
Opini: Satu Dekade Dana Desa di NTT: Pelajaran untuk Koperasi Merah Putih
Jika dihitung efektivitas investasi, setiap 1 triliun rupiah Dana Desa di NTT hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,14%.
Oleh: Maria Dolorosa Bria, S.Pi., MEnv.Sc
(Pengurus KoalaNTT, bekerja pada Dinas PMD Rote Ndao Tahun 2019 – 2023)
POS-KUPANG.COM - Sepuluh tahun sudah sejak Program Dana Desa diluncurkan pada tahun 2015. Dengan dana hampir 25 triliun rupiah yang mengalir ke Nusa Tenggara Timur (NTT), harapan untuk transformasi besar di desa sangatlah tinggi.
Namun, realitas berbicara lain. Berdasarkan data BPS, kemiskinan di NTT hanya turun 3,56 persen, dari 22,58 persen di tahun 2015 menjadi 19,02 persen di Tahun 2024.
NTT tetap berada di posisi ketiga provinsi termiskin di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat. Posisi yang masih sama persis seperti sepuluh tahun lalu.
Untuk memahami seberapa lambat laju pengentasan kemiskinan di NTT, mari bandingkan dengan provinsi lain di Indonesia Timur. Papua berhasil turun dari 28,40 % di tahun 2015 ke 17,26 % di tahun 2024—sebuah penurunan signifikan 11,14 % atau rata-rata 1,24 % per tahun.
Papua Barat juga menunjukkan kinerja lebih baik dengan penurunan 6,80 % selama satu dekade. Sedangkan rata-rata penurunan di NTT hanya 0,36 % per tahun.
Jika dihitung efektivitas investasi, setiap 1 triliun rupiah Dana Desa di NTT hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,14 % . Padahal kita tahu bahwa selain dana desa, masih ada alokasi dana lain ke NTT.
Dalam bahasa sederhana, dibutuhkan investasi yang sangat besar untuk mengangkat sedikit saja masyarakat dari kemiskinan. Timbul pertanyaan besar: di mana letak masalahnya?
Ketika Kebijakan Pusat Bertemu Realitas Desa
Di balik angka-angka ini, tersembunyi kisah tentang betapa rumitnya menerjemahkan kebijakan yang dibuat di Jakarta ke dalam kehidupan nyata di desa-desa sangat tertinggal di NTT.
Setiap tahun, Kementerian Desa PDTT mengeluarkan peraturan tentang prioritas penggunaan Dana Desa yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia.
Pendekatan ini, meski terdengar logis untuk koordinasi dan standarisasi nasional, ternyata menciptakan paradoks di tingkat desa. Pada Kementrian ini juga memiliki Data Indeks Desa Membangun (IDM) yang membagi desa dalam lima kategori desa: sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri.
Indikator – indikator pembentuk IDM harusnya menjadi acuan penetapan prioritas pembangunan desa.
Bayangkan sebuah desa di pedalaman NTT yang dihadapkan pada kenyataan bahwa 40 % anak di desanya mengalami gizi buruk, namun memilih membangun lapangan olahraga karena masuk dalam prioritas sesuai peraturan Menteri. Atau, desa lain dengan banyak anak putus sekolah karena tidak ada transportasi ke sekolah, tetapi lebih memilih ‘memagari pantai.
Kekacuan Koordinasi Anggaran
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.