Opini

Opini: Frustrasi Melahirkan Anarki, Benarkah Demokrasi Kita Telah Gagal?

Bayangkan, di tengah tekanan ekonomi, beberapa oknum pejabat justru melontarkan pernyataan yang meremehkan kesulitan rakyat. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Jim Briand Kolianan 

Oleh:  Jim Briand Kolianan, S.Sos, M.Si
Dosen Ilmu Administrasi Negara Fisip Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Layar kaca kita kembali dipenuhi pemandangan yang terasa seperti mengulang sejarah —massa di jalan, gedung publik yang terbakar, dan teriakan kekecewaan. 

Ini bukanlah kemarahan yang lahir dalam semalam, melainkan buah dari akumulasi panjang rasa frustrasi terhadap elite yang seolah tuli. 

Fenomena ini memaksa kita untuk bercermin dan bertanya: setelah lebih dari dua dekade Reformasi, benarkah demokrasi kita baru sebatas prosedur dan akhirnya gagal secara substansi?

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk membuat sebuah garis pemisah yang tegas. 

Demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi adalah pilar demokrasi yang sah dan dijamin konstitusi. 

Namun, anarki—dalam bentuk perusakan fasilitas publik dan kekerasan—adalah tindakan destruktif yang justru mengkhianati demokrasi itu sendiri dan sama sekali tidak dapat dibenarkan. 

Pertanyaannya kemudian bukan lagi "bolehkah marah?", melainkan "mengapa kemarahan yang absah itu bisa tumpah melampaui batas menjadi anarki?" 

Di sinilah kacamata sosiologi gerakan sosial menjadi relevan. Kerusuhan massa jarang dipicu satu insiden, melainkan muara dari "keluhan kolektif" (collective grievances) yang terakumulasi. 

Namun, keluhan saja tidak cukup. Diperlukan apa yang disebut "Struktur Peluang Politik" ( Political Opportunity Structure), di mana masyarakat bergerak serentak saat melihat celah atau kelemahan pada elite yang berkuasa—celah yang ironisnya sering mereka ciptakan sendiri.

Jika gerakan massa tadi adalah apinya, maka bahan bakar utamanya dapat ditemukan dalam ranah etika dan komunikasi administrasi publik. 

Setiap pejabat negara, pada hakikatnya, memegang "Amanah Publik" (Public Trust). 

Jabatan mereka bukan hak milik, melainkan kepercayaan yang dititipkan rakyat. 

Konsekuensinya, ucapan mereka bukan lagi pendapat pribadi, melainkan cerminan etika pelayanan publik. 

Sayangnya, prinsip ini kerap diabaikan. Melalui komunikasi yang ceroboh, para elite tanpa sadar keliru "menetapkan agenda" (agenda-setting) di mata publik. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved