Opini
Opini: Satu Dekade Dana Desa di NTT: Pelajaran untuk Koperasi Merah Putih
Jika dihitung efektivitas investasi, setiap 1 triliun rupiah Dana Desa di NTT hanya mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,14%.
Permasalahan menjadi semakin kompleks karena tidak adanya tools atau sistem yang memadai untuk sinkronisasi program pembangunan yang didanai oleh dana desa dengan sumber anggaran lain, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Tidak jarang terjadi tumpang tindih program yang mengakibatkan pemborosan sumber daya.
Sebagai contoh, sebuah desa mendapat alokasi anggaran untuk bantuan bibit rumput laut dari dana desa, namun di tahun anggaran yang sama ada bantuan serupa dari Dinas Kelautan dan Perikanan atau dari LSM.
Akibatnya, satu desa bisa mendapat bantuan berlipat untuk komoditas yang sama. Koordinasi yang buruk ini tidak hanya mengakibatkan inefisiensi, tetapi juga menciptakan ketimpangan distribusi bantuan antar desa.
Drama Ketergantungan: Ketika Bantuan Menjadi Candu
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah mentalitas ketergantungan yang tercipta akibat pola pemberian bantuan yang terus-menerus.
Bantuan atau hibah seringkali dianggap sebagai hak absolut dari pemerintah desa, bukan sebagai stimulus untuk membangun kemandirian.
Ada kisah nyata dari sebuah desa yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai penenun. Sejak adanya dana desa hingga sekarang, setiap tahun para penenun selalu mendapat bantuan benang secara gratis.
Ketika pemerintah desa diminta untuk menghentikan pemberian bantuan ini dan mengalihkannya ke program pemberdayaan yang lebih berkelanjutan, kepala desa berkata, "Jika tidak diberi bantuan, mereka tidak akan menenun."
Fakta ini mengungkap betapa dalamnya ketergantungan yang telah tercipta. Yang seharusnya menjadi stimulus untuk mengembangkan usaha, malah menciptakan mental "tunggu bantuan".
Masyarakat kehilangan inisiatif untuk mandiri dan lebih memilih menunggu bantuan gratis dari pada berusaha mengembangkan usaha secara mandiri.
Drama Sumber Daya Manusia
Jika paradoks kebijakan adalah tantangan struktural, maka krisis sumber daya manusia adalah tantangan yang lebih fundamental.
Di desa-desa terpencil NTT, terjadi drama kehilangan yang terus berulang: setiap kali ada anak muda yang berhasil menyelesaikan pendidikan, mereka pergi meninggalkan desa, membawa serta harapan dan potensi yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan.
Fenomena brain drain ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Desa kehilangan SDM terbaiknya, sementara yang tertinggal kurang memiliki kapasitas untuk menjalankan program pembangunan secara optimal.
Hasilnya, program yang dirancang dengan baik di atas kertas berubah menjadi rutinitas administratif yang tidak berdampak signifikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.