Cerpen

Cerpen: Di Bawah Bayang Ekskavator

Tapi semua tahu, mesin tua tak peduli siapa yang mengemudi. Kalau mesin itu mogok, nyawa juga ikut terseret.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
ILUSTRASI 

“Semoga cepat ditemukan, ya, Bu.”

Sore menjelang, hujan turun. Tanah makin labil. Pencarian dihentikan sementara. Tapi Lesni menolak pulang.

“Kalau saya pulang, nanti siapa yang nungguin dia?” katanya pada petugas. Rini ikut duduk bersamanya di bawah tenda. Ia menyalakan perekam suara, tapi tidak untuk wawancara. Hanya untuk mengabadikan diam dan tangis. 

Kadang, berita tak perlu suara, cukup kesedihan yang jujur.

Besoknya, headline surat kabar lokal berbunyi: “EKSKAVATOR MAUT DI GUNUNG DALO: KORBAN LAGI, SIAPA PEDULI?”

Artikel itu viral. Rini menuliskan semuanya, tentang ekskavator tua, tekanan kerja, pengabaian SOP, surat teguran dari dinas yang tak ditindaklanjuti. 

Ia menyoroti bagaimana izin tambang digunakan sebagai tameng untuk menutup mata dari pelanggaran di lapangan.

Dinas ESDM akhirnya bersuara, “Kami sudah beri teguran dua kali. Perusahaan seharusnya patuh.”

Polisi bergerak lamban. Bos Andra dipanggil untuk dimintai keterangan. Tapi ia hanya bilang, “Itu musibah. Kami sudah mengikuti prosedur. Salah operator.”

Rini marah. Ia menulis lagi.

“Jangan kambinghitamkan Ben. Jangan salahkan korban yang hanya mencari makan. Kesalahan itu sistemik. Ini pembiaran.”

Tiga hari setelah longsor, tubuh Ben ditemukan. Tertimbun di bawah ekskavator yang hancur. Tangannya masih menggenggam tuas mesin.

Lesni memeluk jenazahnya tanpa suara. Neyra di gendongannya tertidur. Dunia terus berjalan, tapi hidupnya berhenti di situ.

Di pemakaman, Rini hadir. Ia merekam doa, suara tanah ditabur, dan bisikan Lesni.

“Maafkan aku, Ben. Harusnya aku larang kamu kerja di sana. Tapi dapur harus tetap ngebul….”

Sebulan kemudian, tambang Gunung Dalo ditutup. Tapi itu hanya sementara.

Di balik layar, surat izin diperpanjang diam-diam. Ekskavator baru dikirim, pekerja baru direkrut.

Tragedi itu pun pelan-pelan dilupakan.

Rini menatap layar laptopnya. Ia menulis lagi:

“Negeri ini bukan kekurangan batu, tapi kekurangan empati. Di bawah bayang ekskavator, manusia-manusia kecil diperas, dibuang, dan dilupakan. Sampai kapan?”

Ia mengunggah tulisannya.

Lalu menatap langit.

Di pikirannya, wajah Ben dan suara mesin ekskavator yang meraung itu masih membekas.

Neyra, bayi kecil yang suatu hari nanti akan bertanya: “Ayah kenapa gak pernah pulang?”  (*)

*) Marianus Jefrino, S.Fil. Alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores, sangat tertarik dengan isu-isu strategis, dan sekarang menjadi Pendidik di SMA Regina Caeli Bogor, Jawa Barat.

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved