Cerpen
Cerpen: Di Bawah Bayang Ekskavator
Tapi semua tahu, mesin tua tak peduli siapa yang mengemudi. Kalau mesin itu mogok, nyawa juga ikut terseret.
LONGSOR!
Suara itu datang dari sisi barat. Rini menoleh cepat. Tanah yang tadi dikeruk ekskavator mulai meluncur. Cepat sekali. Seperti air bah, tapi dari batu dan debu.
Rini berlari. Kamera di tangannya hampir jatuh. Ia melihat beberapa pekerja terseret, tubuh mereka lenyap di bawah timbunan pasir. Truk yang parkir di lereng tertimpa batu besar.
Ekskavator itu, yang tadi dikemudikan Ben, jatuh terguling ke bawah, dihantam longsoran.
Lalu sunyi.
Debu mengepul. Teriakan berubah jadi isak.
Tiga jam kemudian, garis polisi dipasang. Tim SAR datang. Kantong jenazah dibuka satu per satu. Rini duduk di samping pos tambang, menulis cepat di notes kecilnya.
“Longsor di Gunung Dalo bukan bencana alam. Ini kecelakaan kerja akibat kelalaian. Tanah dikeruk tanpa terasering. Mesin ekskavator bekas dipakai nonstop 24 jam. Operator pemula disuruh menggantikan tanpa pelatihan.
Satu korban tewas. Tiga hilang. Dan ini bukan pertama.”
Rini menatap ke arah kerumunan. Seorang perempuan dengan bayi di gendongan berdiri gemetar di pinggir garis kuning.
Itu Lesni, istri Ben.
Rini mendekat, pelan.
“Ibu, istri Ben, ya?” tanyanya.
Lesni mengangguk. Matanya sembab. “Saya gak tahu... tadi pagi masih sarapan bareng. Dia bilang, kalau hari ini cepat selesai, sore bisa pulang bawa oleh-oleh buat Neyra….”
Rini tak sanggup menjawab. Ia hanya memegang bahu Lesni.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.