Cerpen

Cerpen: Di Bawah Bayang Ekskavator

Tapi semua tahu, mesin tua tak peduli siapa yang mengemudi. Kalau mesin itu mogok, nyawa juga ikut terseret.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
ILUSTRASI 

Ia ingat kata Pak Saman, “Keruk jangan langsung dalam, bikin bertahap. Kalau tanahnya goyah, bisa longsor.”

Tapi pagi itu, waktu baru jam sembilan, ponselnya bergetar.

Bos Andra, “Cepetin, Ben. Hari ini harus beres dua kontainer. Naikin kecepatan.”

Ben menggigit bibir. Ia tahu, tanah di sisi tebing sudah mulai rapuh. Ia juga tahu seharusnya penggalian dilakukan dari atas ke bawah, membentuk teras. 

Tapi mereka tak pernah diberi pelatihan. Tak pernah ada insinyur tambang datang.

Hanya bos yang datang bawa nota dan tagihan.

Ia menarik tuas lebih dalam.

Ekskavator meraung.

Tanah menggembur.

Dan suara retakan terdengar.

Sementara itu, di bawah, seorang perempuan berjalan cepat di pinggir tambang, menghindari tumpukan batu. Namanya Rini. 

Ia wartawan lokal yang sedang mengumpulkan data untuk tulisan tentang tambang liar. Tapi Gunung Dalo bukan tambang liar. 

Izin mereka lengkap, maksudnya secara di atas kertas. Ia pernah membaca laporan tentang tambang ini. Katanya, peralatan mereka sesuai standar. Katanya, SOP keamanan diterapkan. 

Tapi yang ia lihat hari itu justru sebaliknya. Pekerja tanpa pelindung, alat berat tanpa lampu peringatan, dan ekskavator yang nyaris roboh di bibir tebing.

Lalu terdengar teriakan.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved