Cerpen

Cerpen: Di Bawah Bayang Ekskavator

Tapi semua tahu, mesin tua tak peduli siapa yang mengemudi. Kalau mesin itu mogok, nyawa juga ikut terseret.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
ILUSTRASI 

Oleh: Marianus Jefrino*

POS-KUPANG.COM -  Pagi masih basah oleh embun, dan jalan tanah menuju tambang Gunung Dalo sudah ramai. 

Truk-truk tua berbaris seperti semut lapar, mengantre giliran mengangkut hasil perut bumi yang terkoyak. 

Di antara mereka, seorang pemuda berdiri menatap ekskavator kuning di atas tebing.

Namanya Ben. Usianya dua puluh tujuh. Ia baru sebulan bekerja sebagai operator ekskavator cadangan. “Operator magang,” begitu sebutannya. 

Tapi semua tahu, mesin tua tak peduli siapa yang mengemudi. Kalau mesin itu mogok, nyawa juga ikut terseret.

Marianus Jefrino
Marianus Jefrino (DOK PRIBADI)

Hari itu giliran Ben menggantikan Pak Saman, operator senior yang tak bisa masuk karena demam. 

“Kau hati-hati, Ben,” pesan Saman kemarin. “Mesin itu udah kayak manusia tua. Kalau panas, bisa ngamuk.”

Ben cuma tertawa waktu itu. Tapi pagi ini, dengan helm murahan dan sepasang sepatu bot bekas, ia mulai merasakan debar di dadanya. 

Di bawah tebing, para buruh lain terlihat seperti titik-titik kecil. Mereka sedang menyusun batu kerikil, menyingkirkan sisa-sisa kerukan malam tadi.

Di kabin ekskavator, Ben duduk. Setir keras. Suara mesin meraung tak merdu. Panel indikator sebagian mati. Tapi bos bilang, “Yang penting bisa jalan, bisa keruk.”

Ben menghela napas. Di sebelah tuas, tergantung foto anaknya yang baru lahir, Neyra. 

Bayi itu datang tiga minggu lebih cepat dari perkiraan. Biaya rumah sakit membuatnya putus asa. 

Itulah sebabnya ketika Bos Andra, pemilik tambang, menawarinya kerja tanpa pelatihan, ia mengangguk tanpa pikir panjang.

Ekskavator bergerak. Giginya menggali batu dan pasir, menyendok, mengangkat, memutar. Ben pelan-pelan mulai terbiasa. 

Ia ingat kata Pak Saman, “Keruk jangan langsung dalam, bikin bertahap. Kalau tanahnya goyah, bisa longsor.”

Tapi pagi itu, waktu baru jam sembilan, ponselnya bergetar.

Bos Andra, “Cepetin, Ben. Hari ini harus beres dua kontainer. Naikin kecepatan.”

Ben menggigit bibir. Ia tahu, tanah di sisi tebing sudah mulai rapuh. Ia juga tahu seharusnya penggalian dilakukan dari atas ke bawah, membentuk teras. 

Tapi mereka tak pernah diberi pelatihan. Tak pernah ada insinyur tambang datang.

Hanya bos yang datang bawa nota dan tagihan.

Ia menarik tuas lebih dalam.

Ekskavator meraung.

Tanah menggembur.

Dan suara retakan terdengar.

Sementara itu, di bawah, seorang perempuan berjalan cepat di pinggir tambang, menghindari tumpukan batu. Namanya Rini. 

Ia wartawan lokal yang sedang mengumpulkan data untuk tulisan tentang tambang liar. Tapi Gunung Dalo bukan tambang liar. 

Izin mereka lengkap, maksudnya secara di atas kertas. Ia pernah membaca laporan tentang tambang ini. Katanya, peralatan mereka sesuai standar. Katanya, SOP keamanan diterapkan. 

Tapi yang ia lihat hari itu justru sebaliknya. Pekerja tanpa pelindung, alat berat tanpa lampu peringatan, dan ekskavator yang nyaris roboh di bibir tebing.

Lalu terdengar teriakan.

LONGSOR!

Suara itu datang dari sisi barat. Rini menoleh cepat. Tanah yang tadi dikeruk ekskavator mulai meluncur. Cepat sekali. Seperti air bah, tapi dari batu dan debu.

Rini berlari. Kamera di tangannya hampir jatuh. Ia melihat beberapa pekerja terseret, tubuh mereka lenyap di bawah timbunan pasir. Truk yang parkir di lereng tertimpa batu besar.

Ekskavator itu, yang tadi dikemudikan Ben, jatuh terguling ke bawah, dihantam longsoran.

Lalu sunyi.

Debu mengepul. Teriakan berubah jadi isak.

Tiga jam kemudian, garis polisi dipasang. Tim SAR datang. Kantong jenazah dibuka satu per satu. Rini duduk di samping pos tambang, menulis cepat di notes kecilnya.

“Longsor di Gunung Dalo bukan bencana alam. Ini kecelakaan kerja akibat kelalaian. Tanah dikeruk tanpa terasering. Mesin ekskavator bekas dipakai nonstop 24 jam. Operator pemula disuruh menggantikan tanpa pelatihan.

Satu korban tewas. Tiga hilang. Dan ini bukan pertama.”

Rini menatap ke arah kerumunan. Seorang perempuan dengan bayi di gendongan berdiri gemetar di pinggir garis kuning.

Itu Lesni, istri Ben.

Rini mendekat, pelan.

“Ibu, istri Ben, ya?” tanyanya.

Lesni mengangguk. Matanya sembab. “Saya gak tahu... tadi pagi masih sarapan bareng. Dia bilang, kalau hari ini cepat selesai, sore bisa pulang bawa oleh-oleh buat Neyra….”

Rini tak sanggup menjawab. Ia hanya memegang bahu Lesni.

“Semoga cepat ditemukan, ya, Bu.”

Sore menjelang, hujan turun. Tanah makin labil. Pencarian dihentikan sementara. Tapi Lesni menolak pulang.

“Kalau saya pulang, nanti siapa yang nungguin dia?” katanya pada petugas. Rini ikut duduk bersamanya di bawah tenda. Ia menyalakan perekam suara, tapi tidak untuk wawancara. Hanya untuk mengabadikan diam dan tangis. 

Kadang, berita tak perlu suara, cukup kesedihan yang jujur.

Besoknya, headline surat kabar lokal berbunyi: “EKSKAVATOR MAUT DI GUNUNG DALO: KORBAN LAGI, SIAPA PEDULI?”

Artikel itu viral. Rini menuliskan semuanya, tentang ekskavator tua, tekanan kerja, pengabaian SOP, surat teguran dari dinas yang tak ditindaklanjuti. 

Ia menyoroti bagaimana izin tambang digunakan sebagai tameng untuk menutup mata dari pelanggaran di lapangan.

Dinas ESDM akhirnya bersuara, “Kami sudah beri teguran dua kali. Perusahaan seharusnya patuh.”

Polisi bergerak lamban. Bos Andra dipanggil untuk dimintai keterangan. Tapi ia hanya bilang, “Itu musibah. Kami sudah mengikuti prosedur. Salah operator.”

Rini marah. Ia menulis lagi.

“Jangan kambinghitamkan Ben. Jangan salahkan korban yang hanya mencari makan. Kesalahan itu sistemik. Ini pembiaran.”

Tiga hari setelah longsor, tubuh Ben ditemukan. Tertimbun di bawah ekskavator yang hancur. Tangannya masih menggenggam tuas mesin.

Lesni memeluk jenazahnya tanpa suara. Neyra di gendongannya tertidur. Dunia terus berjalan, tapi hidupnya berhenti di situ.

Di pemakaman, Rini hadir. Ia merekam doa, suara tanah ditabur, dan bisikan Lesni.

“Maafkan aku, Ben. Harusnya aku larang kamu kerja di sana. Tapi dapur harus tetap ngebul….”

Sebulan kemudian, tambang Gunung Dalo ditutup. Tapi itu hanya sementara.

Di balik layar, surat izin diperpanjang diam-diam. Ekskavator baru dikirim, pekerja baru direkrut.

Tragedi itu pun pelan-pelan dilupakan.

Rini menatap layar laptopnya. Ia menulis lagi:

“Negeri ini bukan kekurangan batu, tapi kekurangan empati. Di bawah bayang ekskavator, manusia-manusia kecil diperas, dibuang, dan dilupakan. Sampai kapan?”

Ia mengunggah tulisannya.

Lalu menatap langit.

Di pikirannya, wajah Ben dan suara mesin ekskavator yang meraung itu masih membekas.

Neyra, bayi kecil yang suatu hari nanti akan bertanya: “Ayah kenapa gak pernah pulang?”  (*)

*) Marianus Jefrino, S.Fil. Alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores, sangat tertarik dengan isu-isu strategis, dan sekarang menjadi Pendidik di SMA Regina Caeli Bogor, Jawa Barat.

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved