Opini

Opini: Tolong Selamatkanlah Mereka!

Kontrol sosial dipaham sebagai terkekangnya kebebasan: makin tinggi kontrol sosial, makin terpenjaranya kebebasan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Meskipun kita sedang dikepung oleh ponsel pintar dan rutin mengeksploitasi diri, namun kita tetap mampu membebaskan diri. Itu akan menjadi kenyataan kalau kita memiliki pengharapan. 

Pengharapan melampaui autoeksploitasi dan perbudakan oleh kapitalisme neoliberal. Pengharapan adalah bukti adanya yang transenden dan yang imanen. 

Banyak pakar sains dan teknologi menjadi ateis bukan karena mereka menolak adanya yang transenden dan yang imanen, melainkan tidak tahu menjelaskannya, meskipun mengalaminya berkali-kali. 

Banyak pula yang mengakui dan percaya yang berlebihan pada yang transenden dan yang imanen sampai melupakan diri dan tidak tahu diri bahwa mereka adalah manusia yang mesti bangun, mandi, sarapan, menyeruput kopi, kerja, gosip, mendengarkan yang lain, berbagi, menggodai yang lain, dan seterusnya. 

Bagi kelompok yang terakhir ini, pengharapan adalah menunggu secara pasif sampai diberi apa/siapa yang diharapkan.

Byung-Chul Han, dalam bukunya Lao a la Tierra. Un Viaje al Jardín (2020), menjelaskan “pagi digerakkan oleh kerinduan bahwa hidup bangun kembali, dan bangkit kembali (resucitar).” 

Pengharapan adalah bunga yang bersemai siang hari, bertumbuh sore hari, berkembang malam hari, dan berbunga-bunga pagi hari. Bunga bukan hanya tentang musim semi, melainkan semua musim. Pengharapan, lebih dari itu, tidak mengenal musim, ruang dan waktu. 

Byung-Chul Han dalam  La Tonalidad del Pensamiento (2024) menjelaskan bahwa pengharapan “membuka apa yang akan datang, apa yang mungkin, apa yang baru. Itu adalah satu tindakan roh, satu pernyataan roh yang mengangkat kita di atas yang sudah terberi, yang sudah dilihat, dan terutama, apa yang tidak harusnya terjadi.” 

Han memuji model hidup membiara merupakan “satu tipe keberadaan yang sangat bahagia”, karena mereka yang hidup membiara hidup dari yang transendental. 

Menurut Han, “hidup tanpa transendensi direduksi menjadi suatu kepuasan belaka atas kebutuhan-kebutuhan. Hidup konsumtif seperti ini, hidup tanpa transendensi adalah suatu hidup tanpa kebahagiaan, suatu hidup miskin, malang, terlarat, kering. 

Dengan demikian, bukanlah kehidupan manusia, melainkan kehidupan kawanan. Hari ini kita semua telah menjadi kawanan. Kawanan konsumsi, kawanan komunikasi, kawanan data, kawanan informasi, dan seterusnya.” 

Pengharapan mesti dijemput pada pagi hari, dan diundang pada malam hari. Pagi adalah kebangkitan dan keselamatan. 

Kalau kita tidak lagi menemukan kebebasan, kemerdekaan dan kebahagiaan pada pagi hari, kita belum mengalami kebangkitan. 

Kita belum diselamatkan oleh kita sendiri: kita membiarkan jiwa dan roh kita terpenjara dalam jaringan digital. 

Pengharapan menggarisbawahi bahwa ada hal-hal dan orang-orang yang mesti kita perjuangkan, sayangkan, dan maknakan. 

Hal-hal dan orang-orang itu bisa datang dari depan, muncul dari sekitar kita, dan yang ada dalam diri kita. 

Pengharapan mengandaikan pembebasan dan kemerdekaan. Pengharapan tidak dapat menolak kemalangan, penderitaan, dan kematian, tetapi menjalin relasi kesalingansetimpal dengannya agar ia dapat melampauinya. 

Ini tidak berarti kita harus mati supaya kita mencapai pembebasan dan kebebasan.

Kapitalisme neoliberal mengintensifkan kejahatan, ruang produksi, wilayah konsumsi, dan globalisasi perusahaan pornografi. Tubuh teologis manusia diprofankan dalam perusahaan pornografi yang diperdagangkan secara digital. 

Di sana tidak ada keheningan, ketenangan, dan kedamaian, kecuali perampasan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan—masyarakat telanjang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi diri. 

Di sana pengharapan para korban yang dibuat serba tergesa-gesa, ada, dan memanggil kita untuk mengendalikan dan membebaskan mereka. 

Mereka sangat kecapaian, keletihan dan terluka tidak hanya fisik, tetapi juga eksistensial dan spirtual. 

Tolong, berhenti sejenak, dan selamatkanlah mereka! Mereka adalah kita yang asing setelah diekspolitasi oleh diri kita sendiri! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved