Opini

Opini: Tolong Selamatkanlah Mereka!

Kontrol sosial dipaham sebagai terkekangnya kebebasan: makin tinggi kontrol sosial, makin terpenjaranya kebebasan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Tatapan mata membangun kepercayaan primordial. Hilangnya tatapan, sebaliknya, menyediakan tempat bagi kekacauan relasi dengan diri kita sendiri dan dengan yang lain. 

Ketika kita kehilangan tatapan, kita kehilangan akan yang lain. Tanpa tatapan juga tidak mungkin menimbulkan empati.” 

Byung-Chul Han dalam Infocracia: La Digitalización y la Crisis de la Democracia (2022) menegaskan, “bukan ponsel pintar mengeksploitasi kita, melainkan kita sendiri yang mengeksploitasi diri sendiri di dalam ponsel pintar.”

Aautoeksploitasi tanpa dikontrol oleh lingkungan (sosial, politik, hukum, budaya, keagamaan) membuat orang tidak tahu malu, kehilangan respek, empati dan simpati, malah makin brutal, bringas, buas, dan kejam. 

Orang-orang yang sudah berada pada tahap ini akan melihat kejahatan, penindasan, perampasan, korupsi, pembunuhan, dan peperangan sebagai kewajaran, hal biasa dalam seleksi sejarah umat manusia. Bunuh diri dilihat sebagai tren untuk melampaui persoalan hidup. 

Di sisi lain subjek tidak mampu beradaptasi dan membangun relasi dengan yang lain. Kalau pun ia berkontak dengan yang lain, ia cenderung kasar, dan hidup mana suka. Ia tidak suka dikritik, dimotivasi, dan dinasihati. 

Ia lebih nyaman dengan dunianya sendiri. Ponsel pintar bisa jadi teman akrabnya, yang membantu mengintesifkan gejalanya. Ketika masalah dan tantangan hidup menerpanya, ia enggan meminta bantuan kepada orang lain. 

Ia merasa bisa menyelesaikannya, padahal kenyataannya tidak. Karena itu ia akan mudah terjebak dalam stres berat, depresi, agresif, dan bisa jadi akan bunuh diri. 

Mengapa orang lebih bunuh diri daripada bertahan hidup dan berjuang pada zaman ini? Saya berpendapat, karena tidak punya pengharapan. 

Pengharapan diblokade oleh mental instan, serba tergesa-gesa, ketaksabaran, dan hilangnya nurani kemanusiaan. 

Ketika orang sibuk memenuhi kebutuhan material, dan memuja-mujanya berlebihan, ia akan lebih menyayangi materi-materi itu daripada dirinya sendiri. Ia sibuk kerja, belanja, konsumsi, dan memproduksi sampah. 

Ketika materialisme dan konsumerisme menguasai dirinya, pengharapannya dibelenggu. Pengharapan memang ada, namun kehilangan daya gigitnya untuk mengendalikan mentalitas manusia yang diperintah oleh produksi dan konsumsi. 

Ketika pengharapan diblokade, seseorang tidak mampu memaknai kehidupan sebagai keindahan yang terberi, rahmat yang mesti disyukuri, dan kasih yang harus diperjuangkan. Ia justru melihat kehidupannya sebagai kecelakaan terbesar. 

Ketika kehidupan kehilangan nilai keindahan, hidup tampak kering dan tidak berguna, seperti ponsel pintar tanpa arus dan pulsa data internet. 

Pembebasan diri

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved