Opini
Opini: Filsafat Manusia bagi Generasi Milenial
Filsafat manusia lahir dari getar refleksi ini. Ia bukan sekadar cabang dari sistem pengetahuan, melainkan upaya penuh keheningan...
Martabat manusia tidak terletak pada status atau kuasa, melainkan pada keberadaan sebagai pribadi yang bebas, sadar, dan mampu mencinta.
Manusia sebagai persona adalah pemahaman mendalam yang melampaui sekadar individu. Individu adalah satuan biologis dan sosial, sedangkan persona adalah keberadaan yang memiliki kedalaman spiritual dan nilai.
Persona adalah makhluk yang mampu mengatakan "aku", yang mampu bertanggung jawab, dan yang mampu berelasi dalam cinta.
Ia bukan makhluk infra-human, yang dikendalikan naluri semata, melainkan makhluk yang melampaui insting: makhluk yang memikul kebebasan sekaligus tanggung jawab etis.
Nilai-nilai absolut pribadi mencerminkan kemuliaan manusia yang tak bisa direduksi menjadi angka atau fungsi.
Nilai ini bersifat intrinsik dan tak tergantikan: hak untuk hidup, untuk berpikir, untuk mencinta, dan untuk menghayati kebebasan batin.
Dalam dunia yang sering mengorbankan martabat manusia demi efisiensi dan kekuasaan, filsafat manusia memanggil untuk kembali menegaskan nilai-nilai ini sebagai fondasi moral dari setiap tatanan sosial dan politik.
Dalam tubuh manusia, kita menjumpai realitas paradoks: ia adalah jasmani sekaligus rohani. Badan dan jiwa bukan dua entitas yang saling terasing, melainkan satu kesatuan yang saling menjiwai.
Di sinilah muncul berbagai aliran pemikiran: monisme yang memandang manusia sebagai satu substansi tunggal, entah material atau spiritual; dan dualisme yang membedakan secara tegas antara badan dan jiwa.
Monisme memberi penekanan pada keutuhan, namun kadang mereduksi kompleksitas spiritual manusia. Dualisme menegaskan kedalaman jiwa, namun berisiko menceraikan tubuh dari pengalaman manusiawi.
Hubungan antara monisme dan dualisme bukanlah kontradiksi yang perlu dipertajam, melainkan dialektika yang harus dikayakan.
Dalam kenyataan hidup, manusia mengalami dirinya sebagai kesatuan yang mengalami perpecahan dan pergulatan.
Tubuhnya merasakan sakit, jiwanya menanggung luka. Jiwanya mencinta, tubuhnya merindukan pelukan.
Pemahaman yang utuh hanya bisa dicapai jika kita bersedia menjembatani perbedaan ini dengan keterbukaan eksistensial.
Pandangan tentang tubuh dan jiwa manusia juga mendapat perhatian dalam tradisi filsafat, teologi Kristen, dan teologi Islam. Dalam filsafat klasik, Plato menekankan keabadian jiwa dan kefanaan tubuh, sedangkan Aristoteles melihat jiwa sebagai bentuk dari tubuh, tak terpisahkan.
Sirilus Aristo Mbombo
filsafat
generasi milenial
POS-KUPANG. COM
Opini Pos Kupang
Universitas Widya Mandira
relativisme
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.