Opini

Opini: Filsafat Manusia bagi Generasi Milenial

Filsafat manusia lahir dari getar refleksi ini. Ia bukan sekadar cabang dari sistem pengetahuan, melainkan upaya penuh keheningan...

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Sirilus Aristo Mbombo 

Dalam teologi Kristen, tubuh manusia diciptakan baik adanya, bahkan menjadi bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19). 

Inkarnasi Kristus menegaskan kemuliaan tubuh manusiawi. Sementara dalam teologi Islam, tubuh dan jiwa diciptakan Allah sebagai satu kesatuan untuk beribadah dan menjalani amanah sebagai khalifah di bumi. 

Kedua tradisi ini, meski memiliki nuansa berbeda, tetap menjunjung tinggi kehormatan tubuh dan keabadian jiwa dalam kerangka kehendak Ilahi.

Jiwa manusia, menurut pandangan filsafat, adalah sumber kesadaran, intelektualitas, dan kehendak bebas. 

Dalam teologi Kristen, jiwa adalah napas Allah yang memberi hidup dan arah kepada manusia; ia bersifat kekal dan menjadi subjek moral. 

Dalam Islam, jiwa (nafs dan ruh) juga adalah ciptaan Allah yang membawa manusia pada kesadaran akan kebaikan dan kejahatan, serta bertanggung jawab dalam pengadilan akhirat. 

Jiwa bukan hanya pusat kehidupan batin, tetapi juga arena perjuangan spiritual yang menentukan nasib abadi manusia.

Kebebasan manusia menjadi tema utama dalam diskursus filosofis. Kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk memilih, tetapi kemampuan untuk memilih yang baik, yang benar, dan yang membangun. 

Kebebasan sejati tidak mengarah pada kehendak yang liar, tetapi pada kehendak yang tercerahkan oleh akal dan nurani. Dalam kebebasan, manusia menemukan kemanusiaannya. 

Namun kebebasan juga mengandung risiko: manusia bisa mencinta, tetapi juga bisa menghancurkan. Ia bisa membangun peradaban, tetapi juga bisa memicu kehancuran. Oleh karena itu, kebebasan manusia selalu menuntut kebijaksanaan dan tanggung jawab etis.

Filsafat manusia tidak menawarkan jawaban-jawaban instan, tetapi mengundang pada peziarahan intelektual dan spiritual yang mendalam. 

Ia tidak mengakhiri pencarian, tetapi menyucikan pencarian itu dari kesombongan intelektual dan kesia-siaan eksistensial. 

Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia bukanlah soal menjadi sempurna, tetapi soal menjadi otentik; bukan soal memiliki semua jawaban, tetapi soal setia bertanya dengan rendah hati.

Dalam terang kebijaksanaan, manusia harus dipandang bukan sebagai alat atau objek manipulasi, melainkan sebagai makhluk luhur yang dipercayakan bumi dan sesama. 

Ia adalah ciptaan yang diberi akal untuk mengenal, hati untuk mencinta, dan tangan untuk membangun dunia yang lebih adil. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved