Opini

Opini: Harkitnas dan Identitas Tenun Ikat NTT

Di masa sekarang, terputusnya generasi muda dari kain tradisional seperti Tenun Ikat NTT sangatlah memprihatinkan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
ILUSTRASI - Seorang ibu di Desa Manulando, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende sedang menenun. 

Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Binus Jakarta

POS-KUPANG.COM - Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan perjalanan sejarah dan semangat kebangkitan dalam mewujudkan identitas nasional yang kuat. 

Di tengah arus globalisasi yang kian deras, pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan adalah: bagaimana kita dapat mempertahankan dan mengembangkan warisan budaya yang menjadi jati diri bangsa, seperti tenun ikat NTT, di era yang serba cepat dan praktis?

Mengapa tenun ikat NTT, yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia timur, harus dilestarikan dan dijadikan ikon daerah? 

Apa yang membuat kain tenun ikat NTT lebih berharga dibandingkan dengan kain buatan mesin, dan bagaimana kita dapat merevitalisasi industri tenun tradisional NTT agar menjadi bagian dari semangat kebangkitan nasional? 

Melalui esai ini, kita akan menjelajahi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekaligus menggali potensi tenun ikat NTT sebagai simbol kebangkitan dan pemberdayaan ekonomi berbasis budaya.

Tenun Ikat: Harta Berharga NTT

Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), sebuah momen refleksi tentang persatuan, kemajuan, dan semangat membangun identitas bangsa. 

Pada tahun 2025, tema ini relevan diangkat dengan menyoroti potensi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui tenun ikatnya. 

Sebagai warisan budaya yang sarat makna, tenun ikat NTT tidak hanya menjadi simbol kearifan lokal, tetapi juga cerminan semangat kebangkitan untuk memperkuat identitas nasional. 

Tenun ikat NTT bukan sekadar kain, melainkan living artifact yang merekam sejarah, kepercayaan, dan nilai sosial masyarakat. 

Setiap motif, seperti kaif dari Sumba atau bena dari Flores, mengandung cerita turun-temurun tentang hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan spiritualitas. 

Proses pembuatannya yang manual—mulai dari menenun, mengikat, hingga mewarnai dengan pewarna alam—memerlukan ketelitian, kesabaran, dan kebersamaan.

Sayangnya, warisan ini kini terancam oleh dua hal: generasi muda yang semakin teralienasi dan invasi teknologi yang menggeser makna sakral tenun.

Di masa sekarang, terputusnya generasi muda dari kain tradisional seperti tenun ikat NTT sangatlah memprihatinkan. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved