Opini

Opini: Bambu Ngada Itu Akar untuk Jaga Bumi, Budaya dan Masa Depan

Filosofi rumpun bambu yang komunal terwujud dalam berbagai potret kebudayan kebiasaan masyarakat Ngada. 

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Petrus Selestinus Mite
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Filosofi sederhana dan mendalam tentang bambu muncul ketika pada tanggal 17 November 2025 berbincang santai dengan Kepala Dinas PMD Kota Kupang dalam kegiatan monitoring mahasiswa magang. 

Persis pada saat itu, bambu dimaknai sebagai pohon yang lentur. Ia tidak patah ketika diterpa angin kencang, tetapi hanya membungkuk dan kemudian kembali tegak. 

Ini melambangkan kemampuan untuk beradaptasi, bertahan dalam kesulitan, dan tidak mudah patah semangat. 

Ketangguhan yang juga tercermin dalam kehidupan masyarakat Ngada, begitu gigih bercocok tanam di lereng-lereng terjal, berdamai dengan cuaca, dan tidak pernah surut semangat untuk merawat adat dan keluarganya. 

Baca juga: Opini: Sepotong Lauk yang Dibawa Pulang

Demikianlah Si Bambu tumbuh dalam rumpun yang dihubungkan oleh sistem akar rimpang (rhizome) yang sangat kuat di bawah tanah. 

Sebatang bambu tidak akan bisa berdiri tegak tanpa dukungan batang lainnya. 

Ini melambangkan kekuatan komunitas, gotong royong, dan pentingnya menjaga akar budaya. 

Mungkin inilah yang dipesan Si kakek James C. Scott, dalam buku tuanya “Seeing Like a State” (Scott, 1998) bahwa pengetahuan lokal (metis) seringkali lebih efektif daripada proyek modernisasi yang dipaksakan.

Bambu adalah tanaman dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Namun, ketika ditebang, ia akan tumbuh kembali tanpa merusak rumpunnya. 

Ini melambangkan pertumbuhan yang berkelanjutan, regenerasi, dan sikap untuk terus memberikan manfaat sepanjang hidupnya (dari rebung hingga batang yang kuat). 

Prinsip kehidupan yang dipegang teguh masyarakat Ngada dalam mengelola sumber daya secara arif, mengambil tanpa memusnahkan, untuk menjamin keberlanjutan dari generasi ke generasi. 

Pengelolaan bambu yang berkelanjutan oleh masyarakat Ngada ini mengingatkan kita pada temuan Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi, bahwa masyarakat lokal seringkali paling piawai dalam Governing the Commons (Ostrom, 1990) mengelola sumber daya bersama dengan aturan komunitas yang arif. 

Batang bambu itu berongga di dalamnya (hollow). Dalam filosofi Timur, ini melambangkan kerendahan hati, pikiran yang terbuka, dan kesediaan untuk terus belajar. 

Meski kosong di dalam, secara lahiriah ia memiliki ruas-ruas yang jelas, melambangkan integritas dan prinsip hidup yang teguh.  

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved