Breaking News

Opini

Opini: Makan Bergizi Gratis dan Potensi Mundurnya Pemajuan Kebudayaan

Saya teringat kata-kata Tan Malaka, orang Indonesia harus lebih banyak baca, bila perlu makan dikurangi! 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Antonius Rian 

Mereka mesti didorong dan diberdayakan agar bisa menjadi penyedia pangan lokal di masing-masing daerah. 

Artinya, MBG tak boleh seragam, tak boleh semua daerah diharuskan untuk konsumsi nasi sebab masing-masing wilayah punya karakter budaya makan yang berbeda.

Anjuran seperti ini mesti juga dipertimbangkan oleh Badan Gizi Nasional. Menu yang disiapkan mesti sesuai dengan potensi daerah, misalnya, jika di sebuah daerah kaya akan ikan, maka para pelajar di daerah tersebut tak boleh dipaksakan untuk mengonsumsi daging ayam. 

Sebab jika menu seragam, maka warga lokal, misalnya para nelayan tidak akan mendapat dampak positif dari program ini. 

Sebaliknya yang diuntungkan adalah pengusaha-pengusaha tertentu. Namun, untuk lebih adil, menu MBG mesti beragam, misalnya selama seminggu bisa dibagi jadwal konsumsi ikan dan daging ayam atau daging yang lain, sehingga warga lokal tidak dikesampingkan dari program ini.

Hal lain misalnya, selama seminggu dibagi jadwal konsumsi nasi dengan pangan lokal misalnya ubi, sorgum, pisang dan lain-lain; tak perlu setiap hari harus nasi atau harus buah yang didatangkan dari luar daerah. 

Dengan mengggunakan pola pikir dan pola kerja seperti ini, progam MBG akan berdampak luas bukan hanya untuk sekolah melainkan juga untuk ekonomi warga yang ada di daerah bersangkutan.

Pemajuan Kebudayaan

Idealnya sebuah program dilahirkan mesti berkaca pada program sebelumnya. Demikianpun MBG. Pada masa pemerintahan Jokowi, ada satu program pemajuan kebudayaan yakni Sekolah Lapang Kearifan Lokal. 

Program ini dilakukan oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.

Fokus dari program ini yakni mendata 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan yang salah satunya berkaitan dengan pangan lokal di daerah-daerah. Antusiasme pemerintah dan warga NTT misalnya sangat positif menyambut program ini. 

Warga diedukasi, didorong untuk kembali membudidayakan dan mengonsumsi pangan lokal tanpa bergantung pada beras Jawa atau Sulawesi. Selain warga biasa, program ini juga telah masuk ke seolah-sekolah.

Setelah pergantian kekuasaan, idealisme Pemajuan Kebudayaan ini dipertanyakan apalagi jika berbenturan dengan program MBG yang lebih mengutamakan nasi daripada pangan lokal setiap daerah.

Oleh karena itu, program ini mesti mendorong kolaborasi ide, program terdahulu dan sekarang. 

Pemerintah Daerah mesti membangun jejaring yang kokoh untuk melihat keberlanjutan program Pemajuan Kebudayaan dengan MBG.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved