Opini
Opini: Problematika Visi dan Misi Versus Realisasi Janji Politik Berbasis Program 100 Hari
Sayangnya, dalam banyak kasus, visi dan misi yang ambisius sering kali tidak diimbangi dengan perencanaan yang realistis.
Ataukah Program 100 hari hanyalah program uji coba kepala daerah yang baru dilantik untuk menunjukkan hasil nyata dari program-program yang mereka rancang dalam waktu singkat.
Jika demikian maka akan ada kritik yang menyatakan bahwa fokus pada hasil jangka pendek mengabaikan perencanaan jangka panjang yang lebih substansial.
Hal ini jika merujuk pada pendapat (Haryanto, 2022) bahwa Program 100 hari cenderung menjadi ajang promosi ketimbang implementasi kebijakan yang mumpuni.
Contoh nyata dapat ditemukan di beberapa daerah yang mengalami kesulitan dalam merealisasikan program mereka.
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Badan Analisis Kebijakan Pembangunan, sejumlah kepala daerah mengakui bahwa mereka terpaksa mengurangi ambisi program untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada.
"Kondisi keuangan daerah dan mekanisme birokrasi seringkali menjadi hambatan dalam mencapai target yang telah dicanangkan." (BAPPENAS, 2021).
Selain itu, masalah utama dari kesenjangan antara visi-misi dan realisasi adalah kekecewaan masyarakat.
Setelah memilih pemimpin baru, masyarakat sering kali memiliki harapan tinggi terhadap janji-janjinya.
Namun, ketika program 100 hari tidak berjalan seperti yang diharapkan, dampak psikologis pada masyarakat bisa cukup signifikan.
"Rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah daerah bisa menurun jika janji yang diucapkan tidak ditepati," ungkap Marina, (Marina, 2021).
Sebagai akibat dari kekecewaan ini, ada potensi turunnya tingkat partisipasi politik di masa depan. Masyarakat yang merasa tidak puas bisa jadi enggan untuk berpartisipasi dalam pemilihan selanjutnya, menyebabkan siklus negatif dalam demokr lokal.
"Kepuasan masyarakat terhadap hasil kebijakan sangat vital untuk menjaga partisipasi politik di masa mendatang, (Haryanto, 2022).
Hal lain, yang terjadi juga adalah birokrasi yang rumit sering kali menjadi penghalang dalam realisasi program.
Kepala daerah mungkin memiliki niat baik dan rencana yang matang, namun proses administratif yang berbelit-belit bisa mempersulit pelaksanaan program-program tersebut.
Menurut (Rahardjo, 2021), "Birokrasi seharusnya berfungsi sebagai fasilitator, namun sering kali justru menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.