Opini
Opini: Problematika Visi dan Misi Versus Realisasi Janji Politik Berbasis Program 100 Hari
Sayangnya, dalam banyak kasus, visi dan misi yang ambisius sering kali tidak diimbangi dengan perencanaan yang realistis.
Oleh: Jose Da Conceicao Verdial, M.Pd.
Dosen PBSI Universitas Timor - Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi pusat perhatian upaya perubahan dan pembangunan di tingkat lokal.
Setiap calon kepala daerah biasanya mengusung visi dan misi yang dilengkapi janji politik. Salah satu yang sering menjadi sorotan adalah realisasi program 100 hari kerja pertama mereka.
Meskipun program-program ini dirancang untuk memberikan hasil yang cepat dan menunjukkan komitmen seorang pemimpin, sering kali terdapat kesenjangan antara apa yang dijanjikan dan apa yang bisa direalisasikan dalam waktu singkat tersebut.
Upaya untuk merealisasikan program-program tersebut sering diperhadapkan pada berbagai aspek sehingga muncul problematika yang tak terhindarkan di tengah efisiensi anggaran yang semakin kompleks.
Visi dan misi yang awalnya dipercaya sebagai fondasi utama dalam janji politik yang menggambarkan harapan dan rencana calon pemimpin bisa berubah jadi bumerang bagi pemimpin itu sendiri.
Sebab visi umumnya berisi gambaran ideal dari masa depan yang ingin dicapai, sedangkan misi adalah langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk mencapai visi tersebut.
Menurut Yuniar dan Sari (2020), "Visi adalah sumber motivasi bagi setiap program pembangunan, sementara misi menentukan cara mencapainya."
Sayangnya, dalam banyak kasus, visi dan misi yang ambisius sering kali tidak diimbangi dengan perencanaan yang realistis.
Dalam era politik yang semakin kompetitif, calon kepala daerah cenderung memberikan visi dan misi yang menggiurkan demi menarik perhatian pemilih.
Hal ini dapat menyebabkan masalah pada saat realisasi karena ketika terpilih, mereka mungkin dihadapkan pada tantangan yang tidak terduga.
Misalnya, banyak daerah mengadopsi visi pembangunan berkelanjutan tanpa mempertimbangkan sumber daya yang tersedia.
Ada kalanya calon pemimpin berjanji lebih dari yang mereka mampu, yang berujung pada kekecewaan masyarakat.
Hal lain, yang menjadi tren dalam politik modern adalah Program 100 Hari. Pertayaan reflektifnya adalah indikator apa yang menjadi barometer untuk mencapai program ini? Apa saja yang dapat dicapai?
Bukankah idealnya 100 hari itu harus dimanfaatkan oleh calon pemipin yang telah terpilih untuk melakukan rekonsiliasi terhadap lawan politik untuk kembali bergandengan tangan dan mendukung pembangunan di daerah tersebut?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.