Cerpen
Cerpen: Filsafat yang Hilang di Pasar yang Riuh
Socrates bukanlah seorang cendekiawan dalam arti formal, tetapi jiwanya terus berkelana, menelusuri jejak-jejak kebijaksanaan yang terserak.
Oleh: Sirilus Aristo Mbombo *
POS-KUPANG.COM - Di sebuah negeri yang terbentang luas, di mana lautan membentang sejauh cakrawala dan gunung-gunung menjulang menantang langit, hiduplah seorang pria bernama Socrates.
Ia adalah seorang pengembara pemikir yang sepanjang hidupnya mencari makna sejati dari keberadaan manusia.
Socrates bukanlah seorang cendekiawan dalam arti formal, tetapi jiwanya terus berkelana, menelusuri jejak-jejak kebijaksanaan yang terserak dalam debu sejarah.
Suatu hari, dalam perjalanannya menapaki jalanan kota yang penuh hiruk-pikuk, ia menyaksikan wajah-wajah yang dipenuhi kegelisahan.
Ia mendengar desah napas berat seorang pedagang kecil yang barang dagangannya tak kunjung terjual.
Ia melihat seorang pejabat melangkah dengan angkuh, seakan dunia tunduk di bawah kakinya, sementara rakyat kecil berjuang mengais rezeki dari serpihan kehidupan.
Korupsi yang merajalela di negeri itu telah menenggelamkan harapan banyak orang, menjadikan kejujuran sebagai barang langka dan keadilan sebagai ilusi semata.
Di sudut pasar yang riuh, Socrates bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk termenung di bawah pohon rindang.
Mata lelaki itu memancarkan ketenangan yang asing di tengah dunia yang bergejolak.
Socrates mendekatinya dan bertanya, “Mengapa negeri ini seperti ini? Mengapa begitu banyak penderitaan, ketidakadilan, dan ketidakpedulian?”
Lelaki tua itu tersenyum tipis, lalu berkata, “Anak muda, dunia ini adalah cermin dari hati manusia yang menghuninya. Ketika hati dipenuhi keserakahan, maka keadilan menjadi kabur.
Ketika pikiran terbelenggu oleh ketakutan, maka kebebasan pun lenyap. Apa yang kau lihat bukan sekadar masalah ekonomi atau hukum, tetapi cerminan dari jiwa yang kehilangan arah.”
Socrates terdiam. Kata-kata lelaki itu seperti anak panah yang menembus kesadarannya.
Ia merenungi bagaimana ruang publik semakin dangkal, bagaimana suara rakyat tertelan oleh gemuruh kepentingan para penguasa.
Demokrasi yang seharusnya menjadi nafas kebebasan, justru berubah menjadi sandiwara yang dimainkan oleh mereka yang berkepentingan.
Lelaki tua itu melanjutkan, “Manusia di negeri ini telah lupa pada satu hal mendasar: makna kehidupan itu sendiri. Mereka berlari mengejar materi, mengukur kebahagiaan dengan harta, tetapi lupa bahwa keberadaan mereka lebih dari sekadar angka dalam neraca kekayaan. Mereka lupa bahwa keberanian untuk berpikir, untuk bertanya, untuk memahami, adalah akar dari
kebebasan sejati.”
Socrates mengangguk perlahan. Ia menyadari bahwa permasalahan yang melanda negeri ini bukan hanya soal hukum yang lemah atau kebijakan yang tidak efektif, tetapi lebih dalam dari itu permasalahan makna dan nilai.
Ia teringat akan filsafat, tentang bagaimana manusia sejak dahulu kala selalu bertanya tentang hakikat kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Filsafat, pikir Socrates, bukan sekadar teori yang berdebu dalam buku-buku tua, tetapi sesuatu yang hidup dan mengalir dalam setiap tindakan manusia.
Ketika seseorang bertanya, “Apa yang benar?” dan berusaha hidup sesuai dengan jawaban yang ia temukan, maka filsafat telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, di negeri ini, filsafat sering kali dianggap asing, seolah-olah berpikir secara mendalam adalah beban yang tidak perlu.
Lelaki tua itu kembali berbicara, “Ketika manusia kehilangan makna, mereka akan menggantungkan hidup mereka pada sesuatu yang dangkal. Mereka mencari pegangan pada hal-hal yang mudah, tanpa berani menyelami kedalaman eksistensi.
Tetapi mereka lupa, hanya dengan menyelami kedalaman, seseorang dapat menemukan cahaya yang sesungguhnya.”
Socrates tersenyum, menyadari bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan.
Filsafat adalah denyut nadi dari setiap pertanyaan yang muncul di hati manusia.
Ia mengerti bahwa kebangkitan suatu bangsa tidak hanya terletak pada kekuatan ekonomi atau stabilitas politik, tetapi juga pada kemampuan rakyatnya untuk memahami dan meresapi makna keberadaan mereka.
Maka, dengan tekad yang bulat, Socrates memutuskan untuk menjalani kehidupannya sebagai seorang pemikir yang menghidupkan kembali kebijaksanaan.
Ia pergi ke desa-desa, berbicara dengan para petani, nelayan, dan pedagang kecil, mengajak mereka untuk mempertanyakan dunia di sekitar mereka.
Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang memahami. Bahwa keadilan bukan sekadar hukum yang tertulis, tetapi sikap yang dijalani.
Bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang menemukan makna yang lebih dalam.
Di tengah kesunyian malam, di bawah bintang-bintang yang berkelip, Socrates merenung.
Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, bahwa dunia ini penuh dengan tantangan yang tak terduga.
Namun, ia juga tahu bahwa perubahan tidak terjadi dalam semalam. Ia mengerti bahwa seperti benih yang membutuhkan waktu untuk tumbuh menjadi pohon yang kokoh, begitu pula pemikiran membutuhkan waktu untuk berakar dalam jiwa manusia.
Dan di dalam hatinya, ia berbisik, “Filsafat bukanlah sesuatu yang jauh. Ia ada di sini, dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan, dalam setiap kebenaran yang kita cari, dalam setiap Tindakan yang kita lakukan dengan kesadaran. Selama masih ada mereka yang berani berpikir, harapan
akan selalu ada.”
Dengan langkah mantap, Socrates melanjutkan perjalanannya, membawa serta cahaya kebijaksanaan yang ia temukan.
Ia tahu bahwa meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, selama manusia masih berani bertanya, masih ada kesempatan untuk menemukan kebenaran yang sejati. (*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Simak berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.