Opini

Opini: Kerusakan Bangunan Konstruksi Tidak Selalu dan Tidak Harus Jadi Tindak Pidana Korupsi

JPU membangun konstruksi hukum dengan alur  pikir yang dipaksakan karena sejak awal telah terjadi sesat pikir (logical fallacy)

Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS.COM
ILUSTRASI 

Demikian pula dengan landasan sosiologinya adalah : bahwa sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana  ekonomi kemasyarakatan guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional ; dan bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum. 

Sementara landasan yuridisnya bahwa Undang-undang Nomor 18/1999  tentang Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi.

Artinya bahwa UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi sebagai UU yang lama  sudah tidak relevan lagi dan perlu diganti dengan UU yang baru karena pada UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi pada pasal 43 terdapat sanksi pidana dan denda bagi pelanggarnya yang mengakibatkan  banyak pelaku jasa konstruksi dikenakan sanksi pidana dan membuat tidak kondusifnya pembangunan jasa konstruksi nasional. 

Hal yang lebih menyedihkan dan menyimpang dari landasan filosofis, sosiologis dan yuridis lahirnya UU No.2/2017 tentang Jasa Konstruksi, banyak bangunan yang mangkrak karena diperlakukannya UU Tipikor  pada para pihak apalagi diterapkan dengan menggunakan kesimpulan yang terburu-buru tanpa tahapan proses yang benar sesuai landasan filosofi, sosiologi dan yuridisnya UU Jasa Konstruksi, padahal kepastian hukum yang dimaksud bukan dengan mempidanakan para pihak, tapi adanya perlindungan hukum terhadap bangunan  untuk memberi manfaat sebesarnya besarnya bagi masyarakat.  

Dengan keputusan semacam ini, publik disuguhkan framing yang seolah membenarkan bahwa kondisi rusak sebuah bangunan adalah sebuah peristiwa hukum yang merugikan keuangan negara dan Para Pihak layak dihukum secara pidana walaupun bangunannya sendiri hanya menjadi "candi tak berguna."  

Akibat dari kondisi lompatan kesimpulan ini, terbangun frame pemahaman publik bahwa tiap kerusakan konstruksi  adalah sebuah peristiwa pidana korupsi yang diniatkan sehingga layaklah para pihak dihukum. 

Padahal pola penegakan hukum semacam ini justru  menambah kerugian  keuangan negara yang menjadi lebih  besar, yang ironisnya , justru dilakukan negara sendiri melalui  putusan hakim  sebagai penegak hukum. 

Ada banyak bangunan yang telah final dalam keputusan hukumnya (inkrah), namun bangunannya sendiri tidak memberi manfaat apapun buat masyarakat sebagai asas utama dalam membangun jasa konstruksi  ( Pasal 2  butir b UU Jasa Konstruksi). 

Ironisnya, uang negara sudah dikeluarkan namun bangunan tidak bermanfaat. Para pihak sudah dipidana dan akhirnya negara juga yang terbebani. 

Padahal jika penegakan hukum Tipikor dalam jasa konstruksi mengacu pada UU No.2/2017 Tentang Jasa Konstruksi, terutama soal Sanksi Administrasi (Bab XX UU Jasa Konstruksi), maka para pihak diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk menunjukkan niat baiknya dengan menindaklanjuti keputusan yang terjadi dalam sengketa para pihak akibat wanprestasi ( Pasal 47 UU No2/2017 tentang Jasa Konstruksi). 

Karena kerusakan bangunan adalah kondisi wanprestasi antara Para Pihak (pengguna dan penyedia) yang mesti diselesaikan dengan tahapan penyelesaian sengketa (musyawarah mufakat, konsiliasi, mediasi dan arbitrase) untuk menemukan "apa sebab rusak dan barang siapa" yang bertanggung jawab atas kondisi rusak dimaksud dan apa reaksi para pihak atas kerusakan yang terjadi sebagai unsur niatnya. 

Niat baik untuk memperbaiki atau niat jahat untuk merugikan keuangan negara. 

Jika sengketa seperti ini terjadi, maka secara jelas pasal 86 UU No 2/2017, siapapun termasuk penegak hukum tidak  boleh menghentikan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Sebab pasal ini bertujuan memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa bangunan yang dibangun dengan pajak yang dibayar rakyat kepada negara,  negara harus memberikan manfaat balik bagi masyarakat, dalam bentuk bangunan untuk melayani publik karena masyarakat lebih membutuhkan bangunannya, dan bukan melihat para pihak dipidanakan! (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved