Opini
Opini: Kerusakan Bangunan Konstruksi Tidak Selalu dan Tidak Harus Jadi Tindak Pidana Korupsi
JPU membangun konstruksi hukum dengan alur pikir yang dipaksakan karena sejak awal telah terjadi sesat pikir (logical fallacy)
b). variabel teknik ; apa sebab utama terjadinya rusak? Melakukan forensic engeneer sebagai visum et repertumnya konstruksi.
c). variabel siapa dan apa? Orang atau barang siapa atau pihak lain sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi rusak yang terjadi, dan yang paling utama dan terpenting dalam pembuktian tipikor dalam kerusakan jasa konstruksi.
d).variabel niat. Niat ditentukan dari apa reaksi pihak (orang, barang siapa) yang bertanggung jawab atas kerusakan dimaksud untuk menemukan apakah ada unsur niat untuk merugikan keuangan negara.
Jika reaksi para pihak terhadap variabel ini adalah dengan memperbaiki kerusakan, mengganti bangunan, menambah volume dan atau membayar denda, maka unsur niat jahat dengan tujuan merugikan keuangan negara menjadi tidak terbukti.
Karena negara tidak menjadi merugi, karena para Pihak sudah mengganti dengan yang baru, mengganti uang dan atau membangun kembali agar bangunan bermanfaat sesuai asas UU Jasa Konstruksi , sehingga tidak layak mereka dihukum secara pidana.
Sebaliknya jika para pihak mengabaikannya, membiarkannya walau sudah diberi peringatan, pemberitahuan dan atau instruksi, maka unsur niat menjadi nyata karena para pihak sengaja membuat negara menjadi rugi karena mengabaikan pemberitahuan/perintah atau instruksi tentang bagaimana mereka harus memperlakukan bangunan itu agar bermanfaat maksimal sesuai rencana awal dibangun.
Jika empat variabel antara di atas sebagai sebuah penuntun wajib dalam upaya pembuktian kerugian keuangan negara dalam dunia jasa konstruksi terutama variabel keeempat soal niat merugikan keuangan negara, belum dilaksanakan dan diberikan kepada para pihak untuk ditindaklanjuti, namun JPU langsung "melompat" dengan mendakwa para pihak sebagai tindakan pidana korupsi aka ada tahapan proses dalam UU Jasa Konstruksi yang dilompati JPU sebagai dasar membangun dalil pembuktian Tipikor.
Padahal landasan ini wajib diikuti sebagai bentuk "forensik engeener atau semacam visum et repertum" jasa konstruksi untuk membuat peristiwa kerusakan menjadi jelas dan terang sekaligus menemukan apakah ada niat merugikan keuangan negara dalam sebuah pekerjaan konstruksi.
Sayangnya JPU hanya mengacu pada pendapat ahlinya sebagai bukti awal namun mengabaikan alur logika hukum kontrak dan pola tahapan proses sebuah manajemen proyek yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi.
Bahkan JPU membangun frame logika seolah terjadi persekongkolan antara para pihak yang secara bersama-sama berniat merugikan keuangan negara, dengan tujuan menguntungkan , memperkaya diri sendiri atau korporasi dan dengan serta merta dikaitkan dengan UU Tipikor, tanpa menggunakan UU No. 2/2017 Tentang Jasa konstruksi sebagai landasan pijak penegakan hukum yang keberadaannya sebagai lex specialist.
JPU boleh menduga di awal bahwa Para Pihak telah berniat merugikan keuangan negara, namun di sisi lain JPU tidak memberikan kesempatan pada para pihak untuk menunjukan niat baiknya memperbaiki kerusakan yang masih berada dalam domain UU Jasa Konstruksi, baik itu selama masa kontraktual dan atau dalam masa pertanggungan (Palal 65 UU Jasa Konstruksi).
Padahal UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai lex spesialis (aturan khusus), harusnya menjadi dasar pijakan untuk ditegakkan dan diterapkan terlebih dahulu dibandingkan dengan penerapan UU Tipikor sebagai lex generalis (aturan umum), karena ada ketentuan bahwa "lex spesialis derogate lex generalis" atau aturan khusus lebih tinggi dari aturan umum).
Fenomena "jumping to conclusion" ini terjadi berulang dalam berbagai dakwaan Tipikor jasa konstruksi, termasuk berulang pula Majelis Hakim, dalam amar putusannya menyatakan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tipikor.
Pada saat yang sama majelis hakim pun telah ikut terbawa dalam kekeliruan berpikir dengan turut mengabaikan keberadaan UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi.
Padahal dalam konsideran UU dimaksud secara jelas telah dinyatakan landasan filosofis lahirnya UU No.2/2017 yakni: bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.