Opini

Opini: Kerusakan Bangunan Konstruksi Tidak Selalu dan Tidak Harus Jadi Tindak Pidana Korupsi

JPU membangun konstruksi hukum dengan alur  pikir yang dipaksakan karena sejak awal telah terjadi sesat pikir (logical fallacy)

Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS.COM
ILUSTRASI 

b). variabel teknik ; apa sebab utama terjadinya rusak? Melakukan forensic  engeneer sebagai visum et repertumnya konstruksi. 

c). variabel siapa dan apa? Orang atau barang siapa atau pihak lain sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi rusak yang terjadi, dan yang paling utama dan terpenting dalam pembuktian tipikor dalam kerusakan jasa konstruksi.

d).variabel niat. Niat ditentukan dari  apa reaksi pihak (orang, barang siapa) yang bertanggung jawab atas kerusakan dimaksud untuk menemukan apakah ada unsur niat  untuk merugikan keuangan negara. 

Jika reaksi para pihak terhadap variabel ini  adalah dengan memperbaiki kerusakan, mengganti bangunan, menambah volume dan atau membayar denda, maka unsur niat jahat dengan tujuan merugikan keuangan negara menjadi tidak terbukti.

Karena negara tidak menjadi merugi, karena para Pihak sudah mengganti  dengan yang baru, mengganti uang  dan atau membangun kembali agar bangunan bermanfaat  sesuai asas UU Jasa Konstruksi , sehingga tidak layak mereka dihukum secara pidana. 

Sebaliknya  jika para pihak mengabaikannya, membiarkannya walau sudah diberi peringatan, pemberitahuan dan atau instruksi, maka unsur niat menjadi nyata karena para pihak sengaja membuat negara menjadi rugi karena mengabaikan pemberitahuan/perintah atau instruksi tentang bagaimana mereka harus memperlakukan bangunan itu agar bermanfaat maksimal sesuai rencana awal dibangun.  

Jika empat  variabel antara  di atas sebagai sebuah penuntun wajib dalam upaya pembuktian kerugian keuangan negara dalam dunia jasa konstruksi  terutama variabel keeempat soal niat merugikan keuangan negara, belum dilaksanakan dan diberikan kepada para pihak untuk ditindaklanjuti, namun JPU langsung "melompat" dengan mendakwa para pihak sebagai tindakan pidana korupsi  aka ada tahapan proses dalam UU Jasa  Konstruksi yang dilompati JPU sebagai  dasar membangun dalil pembuktian  Tipikor.

Padahal landasan ini wajib diikuti sebagai bentuk "forensik engeener atau semacam visum et repertum" jasa konstruksi  untuk membuat peristiwa kerusakan menjadi jelas dan terang sekaligus  menemukan apakah ada niat merugikan keuangan negara dalam sebuah pekerjaan konstruksi. 

Sayangnya JPU hanya mengacu pada pendapat ahlinya sebagai bukti awal namun mengabaikan alur logika hukum kontrak dan pola tahapan proses sebuah  manajemen proyek yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi

Bahkan JPU membangun frame logika seolah terjadi persekongkolan antara  para pihak yang secara bersama-sama berniat  merugikan keuangan negara, dengan tujuan menguntungkan , memperkaya diri sendiri atau korporasi dan dengan serta merta dikaitkan dengan UU Tipikor, tanpa menggunakan UU No. 2/2017 Tentang Jasa konstruksi  sebagai landasan pijak penegakan hukum yang keberadaannya sebagai lex specialist. 

JPU boleh menduga  di awal bahwa Para Pihak  telah berniat merugikan keuangan negara, namun di sisi lain JPU tidak memberikan kesempatan pada para pihak untuk menunjukan niat baiknya memperbaiki kerusakan yang masih berada dalam domain  UU Jasa Konstruksi, baik itu selama masa kontraktual dan atau dalam masa pertanggungan (Palal 65 UU Jasa Konstruksi). 

Padahal  UU  No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai lex spesialis (aturan khusus), harusnya  menjadi dasar pijakan untuk ditegakkan dan diterapkan terlebih dahulu dibandingkan dengan penerapan UU Tipikor sebagai lex generalis (aturan umum), karena ada ketentuan bahwa "lex spesialis derogate lex generalis" atau aturan khusus lebih tinggi dari aturan umum).

Fenomena "jumping to conclusion" ini  terjadi berulang dalam berbagai dakwaan Tipikor jasa konstruksi, termasuk berulang pula Majelis Hakim,  dalam amar putusannya menyatakan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tipikor.

Pada saat  yang sama majelis hakim pun  telah ikut terbawa dalam kekeliruan berpikir dengan turut mengabaikan keberadaan UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi.       

Padahal dalam konsideran UU dimaksud secara jelas telah dinyatakan landasan filosofis lahirnya UU No.2/2017 yakni: bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved