Opini
Opini: Kerusakan Bangunan Konstruksi Tidak Selalu dan Tidak Harus Jadi Tindak Pidana Korupsi
JPU membangun konstruksi hukum dengan alur pikir yang dipaksakan karena sejak awal telah terjadi sesat pikir (logical fallacy)
Oleh: Andre Koreh
Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT, Dekan FT Universitas Citra Bangsa Kupang, Ketua Pusat Studi Jasa Konstruksi UCB ( PSJK - UCB ) Kupang.
POS-KUPANG.COM - Ada pandangan yang keliru di tengah masyarakat sehingga perlu diluruskan, terutama bagi Aparat Penegak Hukum tentang fenomena kerusakan bangunan konstruksi yang dibangun para Penyedia Jasa Konstruksi.
Bahwa tiap kerusakan bangunan adalah sebuah perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, sehingga pasal-pasal tindak pidana korupsi langsung dikenakan pada Para Pihak sebagai pihak yang diduga paling bertanggung jawab atas kerusakan bangunan dan kemudian hakim memutuskan bahwa para Pihak dikenakan sanksi pidana!
Fenomena ini setidaknya penulis temukan dalam dakwaan JPU dalam belasan perkara pidana korupsi jasa konstruksi di mana penulis diminta menjadi saksi a de Charge dalam sebuah persidangan Tipikor .
Dalam dakwaannya, JPU ( jaksa penuntut umum) kerap mendalilkan bahwa kerusakan bangunan adalah sebuah peristiwa yang diniatkan (mensrea) untuk merugikan keuangan negara.

Ini didukung Para Ahli dari lembaga pendidikan tinggi yang memberikan pendapat sesuai keahliannya sebagai bukti permulaan demi mendukung dakwaan JPU.
Sayangnya pendapat para ahli yang diajukan JPU ini hanya menilai fakta kerusakan sebagai fakta lapangan dan bukti awal yang ditemukan sebagai kondisi di "permukaan semata".
Hal itu lalu dinarasikan bahwa kerusakan terjadi karena berbagai hal teknis yang normatifnya memang ada kerusakan sehingga pada akhirnya dinarasikan bahwa terjadi kekurangan volume, terjadi kekurangan kualitas, kesalahan perencanaan; kesalahan pelaksanaan dan kelalaian pengawasan sebagai sebuah persekongkolan dengan niat jahat.
Kemudian kekurangan (volume, kualitas, kelalaian dan denda) yang ditemukan, dihitung sebagai nilai kerugian keuangan negara untuk memenuhi unsur kepastian nilai kerugian negara dalam Tipikor.
Padahal sejatinya para penyedia jasa khususnya jasa konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang secara esensi, penyedia jasa berniat mendapatkan keuntungan dari usaha yang dibangun, sehingga adalah sangat wajar jika Penyedia Jasa profit oriented atau berorientasi pada keuntungan.
Sehingga dalil JPU yang menarasikan penyedia berniat secara bersama-sama dengan pihak lain untuk dan telah merugikan keuangan negara menjadi terlalu prematur dalam sebuah dalil dakwaan korupsi.
Karena pengusaha wajib mendapatkan keuntungan yang wajar dan layak karena tujuan utama Penyedia Jasa adalah menjual jasa konstruksinya. Bukan dengan niat merugikan keuangan negara.
JPU membangun konstruksi hukum dengan alur pikir yang dipaksakan karena sejak awal telah terjadi sesat pikir (logical fallacy) sehingga terjadi distorsi kognitif.
Akibatnya terjadi "jumping to conclusion" (JTC atau lompatan kesimpulan) karena JPU dan juga hakim dalam amar putusannya mengikuti alur pikir itu dengan tidak memperhatikan setidaknya empat variabel lain sebagai "variabel antara" yang secara implisit wajib dipedomani sebagaimana amanat UU Jasa Konstruksi dalam upaya membangun pembuktian atas peristiwa kerusakan.
Keempat variabel itu sebagai berikut:
a). variabel waktu yaitu pada masa kapan kerusakan itu terjadi? Masa kontraktual atau masa pertanggungan? (Pasal 65 UU Jasa Konstruksi).
b). variabel teknik ; apa sebab utama terjadinya rusak? Melakukan forensic engeneer sebagai visum et repertumnya konstruksi.
c). variabel siapa dan apa? Orang atau barang siapa atau pihak lain sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi rusak yang terjadi, dan yang paling utama dan terpenting dalam pembuktian tipikor dalam kerusakan jasa konstruksi.
d).variabel niat. Niat ditentukan dari apa reaksi pihak (orang, barang siapa) yang bertanggung jawab atas kerusakan dimaksud untuk menemukan apakah ada unsur niat untuk merugikan keuangan negara.
Jika reaksi para pihak terhadap variabel ini adalah dengan memperbaiki kerusakan, mengganti bangunan, menambah volume dan atau membayar denda, maka unsur niat jahat dengan tujuan merugikan keuangan negara menjadi tidak terbukti.
Karena negara tidak menjadi merugi, karena para Pihak sudah mengganti dengan yang baru, mengganti uang dan atau membangun kembali agar bangunan bermanfaat sesuai asas UU Jasa Konstruksi , sehingga tidak layak mereka dihukum secara pidana.
Sebaliknya jika para pihak mengabaikannya, membiarkannya walau sudah diberi peringatan, pemberitahuan dan atau instruksi, maka unsur niat menjadi nyata karena para pihak sengaja membuat negara menjadi rugi karena mengabaikan pemberitahuan/perintah atau instruksi tentang bagaimana mereka harus memperlakukan bangunan itu agar bermanfaat maksimal sesuai rencana awal dibangun.
Jika empat variabel antara di atas sebagai sebuah penuntun wajib dalam upaya pembuktian kerugian keuangan negara dalam dunia jasa konstruksi terutama variabel keeempat soal niat merugikan keuangan negara, belum dilaksanakan dan diberikan kepada para pihak untuk ditindaklanjuti, namun JPU langsung "melompat" dengan mendakwa para pihak sebagai tindakan pidana korupsi aka ada tahapan proses dalam UU Jasa Konstruksi yang dilompati JPU sebagai dasar membangun dalil pembuktian Tipikor.
Padahal landasan ini wajib diikuti sebagai bentuk "forensik engeener atau semacam visum et repertum" jasa konstruksi untuk membuat peristiwa kerusakan menjadi jelas dan terang sekaligus menemukan apakah ada niat merugikan keuangan negara dalam sebuah pekerjaan konstruksi.
Sayangnya JPU hanya mengacu pada pendapat ahlinya sebagai bukti awal namun mengabaikan alur logika hukum kontrak dan pola tahapan proses sebuah manajemen proyek yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi.
Bahkan JPU membangun frame logika seolah terjadi persekongkolan antara para pihak yang secara bersama-sama berniat merugikan keuangan negara, dengan tujuan menguntungkan , memperkaya diri sendiri atau korporasi dan dengan serta merta dikaitkan dengan UU Tipikor, tanpa menggunakan UU No. 2/2017 Tentang Jasa konstruksi sebagai landasan pijak penegakan hukum yang keberadaannya sebagai lex specialist.
JPU boleh menduga di awal bahwa Para Pihak telah berniat merugikan keuangan negara, namun di sisi lain JPU tidak memberikan kesempatan pada para pihak untuk menunjukan niat baiknya memperbaiki kerusakan yang masih berada dalam domain UU Jasa Konstruksi, baik itu selama masa kontraktual dan atau dalam masa pertanggungan (Palal 65 UU Jasa Konstruksi).
Padahal UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai lex spesialis (aturan khusus), harusnya menjadi dasar pijakan untuk ditegakkan dan diterapkan terlebih dahulu dibandingkan dengan penerapan UU Tipikor sebagai lex generalis (aturan umum), karena ada ketentuan bahwa "lex spesialis derogate lex generalis" atau aturan khusus lebih tinggi dari aturan umum).
Fenomena "jumping to conclusion" ini terjadi berulang dalam berbagai dakwaan Tipikor jasa konstruksi, termasuk berulang pula Majelis Hakim, dalam amar putusannya menyatakan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tipikor.
Pada saat yang sama majelis hakim pun telah ikut terbawa dalam kekeliruan berpikir dengan turut mengabaikan keberadaan UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi.
Padahal dalam konsideran UU dimaksud secara jelas telah dinyatakan landasan filosofis lahirnya UU No.2/2017 yakni: bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula dengan landasan sosiologinya adalah : bahwa sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana ekonomi kemasyarakatan guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional ; dan bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Sementara landasan yuridisnya bahwa Undang-undang Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi.
Artinya bahwa UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi sebagai UU yang lama sudah tidak relevan lagi dan perlu diganti dengan UU yang baru karena pada UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi pada pasal 43 terdapat sanksi pidana dan denda bagi pelanggarnya yang mengakibatkan banyak pelaku jasa konstruksi dikenakan sanksi pidana dan membuat tidak kondusifnya pembangunan jasa konstruksi nasional.
Hal yang lebih menyedihkan dan menyimpang dari landasan filosofis, sosiologis dan yuridis lahirnya UU No.2/2017 tentang Jasa Konstruksi, banyak bangunan yang mangkrak karena diperlakukannya UU Tipikor pada para pihak apalagi diterapkan dengan menggunakan kesimpulan yang terburu-buru tanpa tahapan proses yang benar sesuai landasan filosofi, sosiologi dan yuridisnya UU Jasa Konstruksi, padahal kepastian hukum yang dimaksud bukan dengan mempidanakan para pihak, tapi adanya perlindungan hukum terhadap bangunan untuk memberi manfaat sebesarnya besarnya bagi masyarakat.
Dengan keputusan semacam ini, publik disuguhkan framing yang seolah membenarkan bahwa kondisi rusak sebuah bangunan adalah sebuah peristiwa hukum yang merugikan keuangan negara dan Para Pihak layak dihukum secara pidana walaupun bangunannya sendiri hanya menjadi "candi tak berguna."
Akibat dari kondisi lompatan kesimpulan ini, terbangun frame pemahaman publik bahwa tiap kerusakan konstruksi adalah sebuah peristiwa pidana korupsi yang diniatkan sehingga layaklah para pihak dihukum.
Padahal pola penegakan hukum semacam ini justru menambah kerugian keuangan negara yang menjadi lebih besar, yang ironisnya , justru dilakukan negara sendiri melalui putusan hakim sebagai penegak hukum.
Ada banyak bangunan yang telah final dalam keputusan hukumnya (inkrah), namun bangunannya sendiri tidak memberi manfaat apapun buat masyarakat sebagai asas utama dalam membangun jasa konstruksi ( Pasal 2 butir b UU Jasa Konstruksi).
Ironisnya, uang negara sudah dikeluarkan namun bangunan tidak bermanfaat. Para pihak sudah dipidana dan akhirnya negara juga yang terbebani.
Padahal jika penegakan hukum Tipikor dalam jasa konstruksi mengacu pada UU No.2/2017 Tentang Jasa Konstruksi, terutama soal Sanksi Administrasi (Bab XX UU Jasa Konstruksi), maka para pihak diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk menunjukkan niat baiknya dengan menindaklanjuti keputusan yang terjadi dalam sengketa para pihak akibat wanprestasi ( Pasal 47 UU No2/2017 tentang Jasa Konstruksi).
Karena kerusakan bangunan adalah kondisi wanprestasi antara Para Pihak (pengguna dan penyedia) yang mesti diselesaikan dengan tahapan penyelesaian sengketa (musyawarah mufakat, konsiliasi, mediasi dan arbitrase) untuk menemukan "apa sebab rusak dan barang siapa" yang bertanggung jawab atas kondisi rusak dimaksud dan apa reaksi para pihak atas kerusakan yang terjadi sebagai unsur niatnya.
Niat baik untuk memperbaiki atau niat jahat untuk merugikan keuangan negara.
Jika sengketa seperti ini terjadi, maka secara jelas pasal 86 UU No 2/2017, siapapun termasuk penegak hukum tidak boleh menghentikan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sebab pasal ini bertujuan memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa bangunan yang dibangun dengan pajak yang dibayar rakyat kepada negara, negara harus memberikan manfaat balik bagi masyarakat, dalam bentuk bangunan untuk melayani publik karena masyarakat lebih membutuhkan bangunannya, dan bukan melihat para pihak dipidanakan! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.