Opini

Opini - Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan

Praktik perbudakan tradisional di Sumba yang masih terjadi hingga saat ini.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-MARTHA HEBI
PENULIS OPINI - Martha Hebi menulis opini dengan judul Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan. 

Kedua, dalam program pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat, perempuan hamba jarang terlibat secara merdeka. Mereka perlu mendapatkan ijin dari bangsawannya, terutama yang masih tinggal bersama bangsawan. 

Kalaupun terlibat, ada kekhawatiran untuk bersuara tentang pengalaman kekerasan dan ketertindasan yang mereka alami. 

Peran gereja dalam pewartaan cinta kasih dan pembebasan bagi kaum marginal seharusnya bisa menjadi aktor penting untuk penghentian praktik perbudakan tradisional ini. Sama halnya dengan OMS, gereja juga memiliki tantangan sendiri. Mengapa gereja bungkam? 

Pertama, pemuka gereja berasal dari kalangan bangsawan dan sebagian diantaranya masih memiliki hamba. Meskipun tidak semua pemuka agama memperlakukan para hamba terutama perempuan hamba dengan tidak adil, namun terlihat keragu-raguan pemuka agama untuk mengkampanyekan bahwa praktik perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristiani. 

Kedua, tumpulnya kritik terhadap bangsawan pelaku kekerasan. Ada bangsawan pelaku kekerasan yang diketahui secara meluas. Di saat yang sama para hambanya adalah jemaat dengan jumlah yang banyak.

Menjadi dilema tersendiri, jika menegur atau bahkan memberi sanksi gerejawi kepada si bangsawan akan berdampak pada berkurangnya jumlah jemaat, karena dengan kuasa yang dimiliki oleh bangsawan, dia dapat melarang para hamba untuk terlibat dalam ibadah dan kegiatan gerejawi. 

Ada pengalaman baik yang pernah diceritakan Pendeta Marlin Lomi, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba. Dalam wawancara dengannya pada tahun 2022, Pendeta Marlin mengatakan pernah memberikan sanksi (siasat gereja) kepada seorang laki-laki bangsawan yang ketahuan menghamili perempuan hambanya.
 
Ketiga, penginjilan yang fokus pada kuantitas bukan kualitas. Kegigihan gereja dalam mewartakan injil lebih fokus pada berapa jumlah umat yang bertambah atau berkurang. 

Namun, upaya untuk mengangkat para hamba terutama perempuan hamba dari ketertidasan belumlah segetol gerakan pembaptisan massal dan penambahan serta pembangunan gereja. Ada praktik baik, sayangnya  belum massif dilakukan.

Lalu, bagaimana pemerintah? Dalam usia 65 tahun Kabupaten Sumba Timur dan Provinsi NTT, setahu saya dan referensi-referensi yang pernah saya baca, belum pernah ada program pemerintah yang secara khusus mengangkat isu perbudakan tradisional ini. Saya mengidentifikasi beberapa kendala termasuk yang mirip dengan kendala pada OMS dan gereja di atas.
 
Pertama, kesadaran kritis kaum bangsawan yang menempati posisi-posisi strategis di legislatif maupun eksekutif. Meskipun mereka mengetahui bahwa ada kebijakan negara yang mengatur hak asasi manusia dan perlindungan terhadap perempuan, tetapi belum ada kesadaran kritis untuk melawan atau menghentikan praktik ini. Sebab, mereka akan berhadapan dengan diri mereka sendiri. 

Mereka belum memiliki keberanian untuk melepaskan “simbol” kebangsawanan melalui kepemilikan hamba. Mereka belum memiliki kemauan politik berbasis HAM.

Kedua, tidak ada keuntungan praktis dan politis. Mempromosikan isu kemanusiaan dengan melawan atau melarang praktik perbudakan tradisional sama sekali tidak mendapatkan keuntungan praktis dan politis.

Justru menjadi boomerang, karena bagi gerakan politik mereka. Mereka akan berhadap-hadapan dengan keluarga sendiri, para bangsawan lainnya yang pro terhadap praktik ini. 

Keuntungan minimalis dari sini adalah jumlah orang miskin dan meningkatnya bantuan sosial baik dari negara maupun non pemerintah.

Ketiga, mesin suara dalam politik. Hingga saat ini, saya tidak memiliki data jumlah hamba di Sumba Timur, baik yang dikeluarkan pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

Relasi tuan dan hamba dimanfaatkan dengan baik dalam perhelatan politik, seperti pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. 

Langkah strategis yang dilakukan para politikus dengan mendekati para bangsawan terutama yang memiliki hamba. Para bangsawan menggunakan kuasa yang dimilikinya untuk mengarahkan pada pilihan tertentu. Apakah para polisi memiliki keberanian untuk melakukan kampanye melawan perbudakan atas nama HAM?
 
Pihak terakhir dalam tulisan ini, yang sangat penting dalam penegakan HAM melalui penghapusan praktik perbudakan ini adalah para bangsawan. Jika melihat kembali pada ketiga entitas di atas, OMS, gereja dan pemerintah, pada puncak piramidalnya adalah kelompok bangsawan.

Selain itu, ada kelompok bangsawan dalam sistem sosial di luar tiga entitas di atas. Untuk golongan bangsawan, hanya ada satu tantangan, yaitu belum ada itikad baik dan keikhlasan hati yang massif di kelompok ini. 

Memang tidak semua bangsawan mengekang dan menindas hambanya. Ada juga bangsawan yang sudah mengirim para hamba untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, membebaskan para hamba, memberikan lahan untuk dikerjakan secara mandiri. 

Namun. jumlahnya tidaklah sebanding dengan para bangsawan yang masih bangga dan menganut ideologi feodalisme ini.

Maukah Elit Politik Menegakkan Hak Asasi Subaltern?

Kisah Ita dan Kudu di atas adalah contoh yang baik bagaimana perempuan subaltern bersuara dan menggugat normalisasi praktik perbudakan meskipun risikonya pertaruhan hidup mereka, karena membongkar aib sistemik para bangsawan.

Mereka telah menjadi agen yang merintis penghapusan praktik perbudakan seksual yang bersembunyi di balik selimut perbudakan tradisional.
  
Apakah pemerintah dengan kabinet baru yang “gemuk” ini memiliki keberanian Ita dan Kudu untuk memutus praktik pelanggaran HAM di Indonesia? 

Apakah gubernur dan wakil gubernur NTT, bupati dan wakil bupati Sumba Timur memiliki itikad baik dan keberanian untuk memutus praktik perbudakan tradisional di Sumba Timur?

Ya, sebagai langkah awal bisa dimulai bertanya kepada penegak hukum, sejauh mana penanganan kasus Ita, perempuan hamba yang menjadi budak seks dan ditindas secara sistematis? Mari kita tunggu. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved