Opini
Opini - Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan
Praktik perbudakan tradisional di Sumba yang masih terjadi hingga saat ini.
Perempuan hamba tidak memiliki ruang untuk menyuarakan keinginan serta kekerasan dan ketertindasan mereka. Seringkali mereka mendapatkan kekerasan verbal dan nonverbal jika ketahuan menceritakan pengalaman mereka sebagai hamba.
Chattel slavery merupakan istilah dalam perbudakan tradisional global di masa lalu yang menggambarkan praktik perbudakan yang dirawat. Hamba dianggap sebagai benda yang dapat diperjualbelikan.
Ada pemaksaan hubungan seksual yang bertujuan melahirkan anak-anak hamba dan melanggengkan perbudakan, yang dikenal dengan istilah the breeding of enslaved people atau pembiakan hamba.
Dalam politik tenaga kerja di Amerika pada masa lalu, David Brion Davis (1966) mengatakan bahwa chattel slavery bertujuan untuk meningkatkan populasi tenaga kerja melalui praktik pembiakan. Pemilik hamba akan mendapat keuntungan dengan menjual hamba dan mengurangi pembelian hamba.
Di Sumba Timur, praktik chattel slavery dan the breeding of enslaved people ini masih dapat ditemukan. Ada praktik belis hamba.
Belis hamba ini adalah praktik menukarkan perempuan hamba dengan sejumlah ternak. Ada juga yang menukarkan perempuan hamba dengan motor atau materi lainnya.
Saya menuliskan pengakuan Kudu, seorang perempuan hamba, yang diterbitkan dalam media Project Multatuli (30/11/2022).
Bangsawan yang memilikinya meminta perempuan hamba melahirkan anak-anak bahkan berlaku juga perempuan hambanya yang tidak mempunyai suami.
Salah satu tujuannya tentu untuk memperbanyak hamba dan tenaga kerja gratis. Kudu memutuskan menggunakan alat kontrasepsi untuk membatasi kelahiran.
Gambaran perempuan sebagai kelompok tertindas (saya melihat dalam konteks Sumba Timur adalah perempuan hamba), Gayatri Chakravorty Spivak (1988) seorang feminis postkolonialisme mempertanyakan lewat esainya "Can the Subaltern Speak?".
Spivak mengkritisi, dapatkah perempuan subaltern (yang tertindas dan terpinggirkan) berbicara? Dapatkah mereka dan kelompok yang terpinggirkan, yang tidak memiliki suara atau keterwakilan dalam narasi sejarah, politik, sosial dan diskursus dominan menyampaikan suara hatinya secara merdeka?
Dalam konteks Sumba Timur, dapatkah para perempuan hamba ini bersuara? Tindakan Ita dan Kudu sesungguhnya adalah jawaban YA untuk pertanyaan Spivak.
Mengguga(h)t OMS, Gereja, Elit Politik dan Kelompok Bangsawan
Mengapa praktik perbudakan di Sumba Timur masih terus berlangsung? Bukankah begitu banyak organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergerak di isu hak asasi manusia (HAM), pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan perempuan?
Bukankah gereja telah hadir lebih dari 100 tahun di Sumba? Bukankah ada negara (dalam konteks lokal, pemerintah Sumba Timur dan pemerintah NTT) yang telah mengeluarkan kebijakan terkait HAM misalnya UU HAM, CEDAW ((Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah berlaku?
Dalam gerakan masyarakat sipil, masih sangat sedikit aktivis yang secara eksplisit memperjuangkan hak-hak sipil perempuan hamba. Ada advokasi yang dilakukan oleh OMS di Sumba Timur, namun kerap menemukan kendala.
Pertama, individu yang bekerja di OMS adalah kaum bangsawan. Ini menjadi tantangan tersendiri, apakah individu-individu ini berani melakukan otokritik terhadap sistem ini?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.