Opini

Opini - Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan

Praktik perbudakan tradisional di Sumba yang masih terjadi hingga saat ini.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-MARTHA HEBI
PENULIS OPINI - Martha Hebi menulis opini dengan judul Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan. 

Ikatan antara bangsawan dan hambanya biasanya dilekatkan pada nama panggilan. Contohnya seorang bangsawan laki-laki dengan nama asli Umbu Domu memiliki nama lain Umbu nai Meta, arti harafiahnya tuannya Meta. 

Dari nama ini menjelaskan bahwa bangsawan laki-laki ini memiliki hamba (laki-laki) bernama Meta. Sama halnya dengan perempuan, Rambu nai Ngguna, ini berarti seorang perempuan bangsawan memiliki hamba bernama Ngguna.
 
Penyebutan nama hamba dalam nama tuannya adalah bentuk penegasan status mereka dan relasi kuasa dalam strata sosial.

Hegel dalam Phenomenology of Spirit , menyebutkan relasi tuan dan hamba ini, sebagai relasi ketergantungan. Kebangsawanan seseorang justru karena ada subordinasi dalam identitas diri hamba.  

Dalam konteks Sumba Timur, kebutuhan akan pengakuan hadir dalam diri bangsawan melalui nama mereka yang digabungkan dengan nama hamba mereka. Sebab, dengan penyebutan Umbu nai Meta atau Rambu nai Ngguna, masyarakat Sumba Timur mengetahui bahwa mereka berasal dari kalangan bangsawan. 

Jadi, relasi tuan dan hamba ini secara turun temurun melekat pada individu dan kelompok sebagai politik identitas dan penegasan relasi kuasa dalam pergaulan sosial.

Ketertindasan Perempuan Hamba dalam Praktik Perbudakan

Dalam piramidal praktik perbudakan di Sumba Timur, golongan hamba memang berada pada lapisan paling bawah, tetapi jika dipilah lagi berdasarkan sex dan gender, maka perempuan hambalah yang berada di lapisan paling bawah. 

Kisah tentang Ita di atas adalah gambaran kekhususan perempuan hamba. Perempuan hamba mendapat kekerasan dan penindasan berlapis karena tubuhnya sebagai perempuan yang memiliki vagina, payudara dan rahim.

Perjumpaan saya dengan para perempuan hamba sejak tahun 2003, menunjukkan bahwa posisi mereka “penting” dalam sistem perbudakan. 

Dua hal yang sangat menonjol yang berkaitan dengan identitas biologis adalah mereka menjadi pemuas birahi laki-laki bangsawan dan “mesin produksi” untuk melahirkan bayi-bayi hamba. 

Pelaku lainnya adalah laki-laki hamba dan laki-laki bukan bangsawan dan bukan hamba. Identitas mereka sebagai hamba dan perempuan membuat mereka dianggap rendah dan dapat diperlakukan dengan tidak adil.

Saya pernah menulis sebuah esai hasil pendokumentasian lapangan dalam Buku Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga Perspektif Agama dan Sosial Budaya yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2022.

Esai ini berjudul Rahim Perempuan Diperalat Sebagai Penerus Perbudakan Tradisional memuat suara perempuan hamba yang mengalami kekerasan berlapis dan secara khusus penguasaan dan kontrol terhadap tubuh mereka. 

Penundukan perempuan karena tubuhnya adalah alasan konservatif yang tetap digunakan dalam praktik ini. Ada juga kisah perempuan dari golongan kabihu, secara sistematis dimanipulasi oleh bangsawan agar menjadi hamba dan melahirkan anak. 

Orang tua perempuan ini memiliki latar belakang ekonomi yang tergolong lemah di lingkungannya. Ini menunjukkan ada jalur lain untuk “melestarikan” perbudakan tradisional ini, modus ekonomi. Siapa korbannya? Tetap perempuan.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved