Opini

Opini - Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan

Praktik perbudakan tradisional di Sumba yang masih terjadi hingga saat ini.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-MARTHA HEBI
PENULIS OPINI - Martha Hebi menulis opini dengan judul Perempuan Hamba di Sumba, Subaltern yang Harus Didengarkan dan Dibebaskan. 

Oleh: Martha Hebi
(Mahasiswa Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)

POS-KUPANG.COM - Pertengahan Oktober lalu, beredar sebuah pamflet berwarna hitam putih di media sosial berisi tentang perbudakan tradisional di Sumba Timur, NTT

Seorang perempuan hamba, Ita, diperkosa dan disiksa sejak kelas 2 SD oleh FS, tuannya (laki-laki). Pada umur 17 tahun, Ita hamil dan melahirkan anak.

Bahkan, saat sedang menyusui pun, dia diperkosa oleh FS. Informasi lain dalam pamflet ini, Ita putus sekolah pada kelas 4 SD. 

Ita melaporkan tabiat FS, pelaku, pada istrinya. Namun, sang istri malah menyalahkannya. Dia dipukul dan disiksa oleh sang istri (Pos Kupang 27/10) . 

Dalam laporan detik.com (29/10) , disebutkan bahwa pelakunya bukan hanya seorang, tetapi tiga orang yang diduga memiliki hubungan keluarga dekat dengan pemerkosa. 

Atas desakan Jaringan Masyarakat Sipil di Sumba, kejahatan ini akhirnya dilaporkan ke Polres Sumba Timur dan saat ini sedang dalam proses penyidikan.

Penggalan kisah di atas adalah praktik perbudakan tradisional di Sumba yang masih terjadi hingga saat ini. Perbudakan tradisional di Sumba usianya sudah lebih dari 500 tahun. 

Dalam I Ketut Ardhana (2005) , disampaikan bahwa salah satu komoditi yang terkenal pada abad ke-16 salah satunya budak yang berasal dari Pulau Sumba dengan usia sekitar 8-14 tahun. 

Dalam beberapa dokumentasi, disebutkan perdagangan hamba di Sumba sudah terjadi sejak tahun 1516. Tentang usia, Oe. H. Kapita (1976)  juga menjelaskan bahwa budak yang muda dan anak-anak paling disukai dan bayarannya mahal.

Tuan dan Hamba Sebuah Relasi Kuasa

Kapita menjelaskan ada empat golongan dalam stratifikasi sosial perbudakan tradisional di Sumba Timur, yaitu ratu, maramba, kabihu dan ata. Ratu atau imam menempati posisi paling atas, yang memimpin kebaktian. 

Maramba atau bangsawan pengatur masyarakat, umumnya memiliki hamba. Kabihu atau kelompok merdeka, mereka kelompok yang tidak dimiliki oleh para bangsawan dan tidak memiliki hamba. Ata atau hamba sahaya, menempati posisi paling bawah, mereka dimiliki oleh kaum bangsawan.

Dalam perkembangannya, golongan ratu dan maramba kerap disatukan sehingga lebih dikenal dengan maramba, kabihu dan ata. 

Meskipun diketahui ada tiga golongan stratifikasi sosial, dalam kehidupan sehari-hari saat ini, golongan yang lebih dikenal adalah bangsawan dan hamba. 

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved