Opini

Opini: Butterfly Effect dan Konsepsi Perubahan

Berbagai pertanyaan spekulatif ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para kepala daerah untuk menjelaskan kepada publik. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Disamping berkaitan langsung dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat, indikator ini juga menjadi modal sosial untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sekaligus mencerminkan ada tidaknya kehadiran pemimpin untuk menyejahterakan rakyatnya.

Pemenuhan urusan wajib bukan hanya menjadi kewajiban kepala daerah, tetapi juga menjadi kewajiban bagi DPRD. Karena, UU Pemda mengatakan, Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan DPRD) adalah penyelenggara pemerintahan daerah.

Mengingat penyusunan APBD merupakan instrumen ideologis, bukan hanya instrumen teknokratis. Karena itu, program-program yang dilaksanakan oleh daerah harus dibuat  bersama-sama dengan proporsi belanja wajib yang tepat.

Namun melihat realitasnya di lapangan, banyak daerah yang beralasan, tidak terpenuhinya urusan wajib tersebut karena persoalan anggaran. 

Fakta tersebut bisa dibantah dengan mengonfirmasi rincian APBD. Jika di APBD, anggaran urusan wajib lebih sedikit daripada urusan pilihan, perlu dipertanyakan komitmen kepala daerah dan DPRD dalam mengurus daerahnya.

Bahkan ada kerancuan, alasan pertimbangan pemerintah berusaha menyenangkan hati rakyat, namun demikian, bobot menyejahterakan rakyat jauh lebih penting. Sehingga, pemerintahan daerah harus lebih mengutamakan urusan wajib daripada pilihan dengan membuat taman-taman atau monumen yang instagramable. 

Sebab, anggaran untuk semua itu tidak sedikit, tetapi manfaatnya hanya bisa dinikmati sebagian masyarakat.

Fakta empiris ini merupakan sebuah antitesis, ketika pemerintahan daerah lebih fokus terhadap program-program yang instragamable daripada urusan wajib. 

Implikasinya, bisa dilihat banyak pemerintah daerah yang tidak siap saat mengatasi persoalan stunting, pengangguran, kemiskinan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang tidak lengkap.

Pemimpin yang mengambil kebijakan kontradiktoris melalui program instragamable tersebut sungguh suatu anomali karena bertentangan dengan logika teoritis dan praktik tatakelola otonomi daerah maupun amanat konstitusi.

Tampaknya, ada banyak komplikasi dari inkonsistensi kebijakan yang harus diselesaikan secara sistimatis. Berbagai pokok soal diatas harus dicermati dan diurai kekusutan sistem managerial pembangunan serta sekaligus jadi peta jalan perubahan. 

Dibutuhkan tindakan koreksi, menata sistem yang tak bekerja, guna mengembalikan marwah program dan penganggaran prioritas urusan wajib.

Rekonstruksi kebijakan ini secara implisit mengisyaratkan bahwa, tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin daerah itu ditakar dengan kemampuannya memanajemen optimalisasi prioritas urusan wajib, bukan membuat pembangunan yang instragamable.

Ekosistem kerja

Argumentasi yang dibangun atas keyakinan bahwa persoalan pembangunan selalu berulang dengan pola yang sama meski pemicunya berbeda, tetapi apabila tanpa dilengkapi kebijakan lain, akan terjadi kekeliruan pentahapan (sequencing error). Sehingga, memungkinkan terjadinya risiko yang merugikan masyarakat (moral hazard).

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved