Cerpen
Cerpen: Pengusaha Muda
Malam penuh syahdu. Roni terpesona dengan keindahan alunan musik orkes yang diaminkan anak-anak biara itu.
“Kamu harus tabah dan jangan cepat putus asa. Jangan kamu terpengaruh dengan bisikan orang kamu harus memberi yang terbaik, bagi siap saja. Ini keputusanmu kamu harus bahagia dengan pilihan dan apa yang telah kamu putuskan,” kata ibu sambil mencium kening putra tunggalnya itu.
Kini Roni menjadi tulang punggung keluarga. Ia dengan lapang dada menerima tugas sang ayah sebagai pengusaha di desanya. Bagi Roni ini tak mudah baginya.
”Nak kamu harus menjadi pribadi yang tangguh. Dan jangan lupa nak minta doa dari ayahmu, untuk segala urusan yang akan engkau lakukan. Memang setiap pilihan adalah berat tetapi kamu harus katakan pada dirimu bahwa kamu bisa menghadapinya.”
Roni harus melanjutkan usaha yang ditinggalkan oleh sang ayah. Roni menerima semuanya itu dengan penuh tanggung jawab.
***
Usaha Roni yang kecil sudah menguras perhatiannya yang memusingkan dahi dan pelipisnya, tapi tanpa ada sesuatu hal yang menjanjikan kepuasan, karena usaha Roni sungguh kecil.
Berjam-jam sebelumnya ia harus menarik perasaan harus menyegarkan ingatan penjaga toko mengingatkannya terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul, dan menghitung pada setiap musim gaya pakaian musim mendatang, tidak untuk orang-orang di sekitar kotanya tapi untuk suku-suku terasing yang jauh terpencil di dusun.
Pendapatan Roni bergantung pada orang-orang asing, keadaan mereka tetap saja merupakan sebuah teka-teki bagi dirinya, tak dapat pula ia ramalkan terjadi musibah yang menimpa orang-orang itu atau bagaimana ia bisa menghindarkan.
Virus memporak-porandakan kehidupan manusia tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Roni kini mulai putus asa.
Sudah dua bulan lamanya toko semata wayang di desa itu tidak dikunjungi oleh para pembeli. Ia yakin ini musibah baginya.
“Itu pasti dia keluar dari biara,” kata seorang warga desa.
“Biasa mulut orang kampung, kamu tidak usah putus asa, coba kamu mulai lagi masih ada kesempatan kok”.
“Ibu aku tidak ingin lagi melanjutkan usahaku ini,” kata Roni di depan ibunya yang duduk di sampingnya. Ibunya hanya diam dan bergegas pergi dari hadapan Roni.
Dua bulan lamanya Roni tunduk pada situasi yang begitu ganas. Hanya doa yang ia lantunkan, besar harapan agar musibah yang melanda desanya segera berakhir.
***
Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu. Seberkas kilat menerangi wajah Ibu. “Ibu mau bicara padamu, Roni.”
“Saya juga ingin bicara pada Ibu,” kata Roni sambil mengelus tangan ibunya yang keriput.
“Ibu akan bicara dulu, Roni. Sesudah itu giliranmu.”
Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.
“Kamu sudah dewasa dan kamu sudah sukses sekarang. Sudah saatnya kamu mendiri dan bertanggung jawab dan mencari kekasihmu.”
“Ibu sudah tidak kuat lagi, Roni. Dan sebentar lagi Ibu tak akan lagi bersamamu. Sudah lama Ibu menderita semenjak kecelakaan bersama ayahmu. Dan kamu sudah lama berjuang sendirian.”
“Maafkan ibu nak," tangis ibu.
“Ibu harus beritahu padamu yang membuat ayah dan ibu sampai begini. Tapi kamu harus memaafkannya. Dia adalah sahabat ayahmu.”
Mata Roni membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.
“Siapa laki-laki yang membuat kedua orang tuaku menderita?”
Air mata Roni tak terbendung lagi. Suara petir tidak lagi terdengar.
Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi pengharapan jiwa
“Pak Joko...”
Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi... (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.