Cerpen

Cerpen: Pengusaha Muda

Malam penuh syahdu. Roni terpesona dengan keindahan alunan musik orkes yang diaminkan anak-anak biara itu.

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Yohanes Yanto Waro

POS-KUPANG.COM - Langit masih pekat. Tapi sama seperti kemarin, malam itu tak seorang pun memedulikannya. 

Dari rumah masing-masing penduduk Wudu keluar, tumpah ke jalan-jalan, seperti air membanjiri kanal. 

Mereka berjalan bergegas, sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. 

Dengan pakaian terbaik, orang-orang itu berbondong-bondong menuju tanah darah di tepi kampung itu. Dari jauh sudah terlihat pucuk-pucuk menara yang menjulang tinggi. 

Dari gerbang masuk biara itu yang terbentuk setengah lingkaran, seorang pemuda tampan menyapa dengan senyum yang khas di tengah remang-remang cahaya lilin yang ada di tangannya. 

Ia mempersilakan kami untuk segera masuk ke dalam ruangan yang sudah disiapkan itu. 

Malam penuh syahdu. Roni terpesona dengan keindahan alunan musik orkes yang diaminkan anak-anak biara itu.

“Ibu aku ingin seperti mereka itu.” Desah Roni pada sang ibu yang duduk di sampingnya. 

Ibunya hanya tersenyum lebar, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Setelah kejadian malam itu Roni tak pikirkan lagi. Ia kembali pada rutinitas sebagaimana mestinya.

Hari-hari Roni lewati dengan sepi. Sore itu ia bertemu senja di bukit Wudu. Mereka bercanda ria entah apa yang mereka perbincangkan, mungkin masa depan yang ingin mereka gapai. 

Roni kembali teringat akan bulan lalu ketika ia mampir di biara tua itu. Ia segera pamit dengan senja. 

“Ibu kapan aku harus kembali ke biara itu?” tanya Roni pada sang ibu yang kini usianya sudah tak mudah lagi. 

Ibu hanya diam beribu bahasa. Roni mengerti perasaan sang ibu dan ia tak bermaksud menyakiti hati ibunya.

Roni adalah seorang calon imam Katolik. Ia adalah satu-satunya calon imam yang diharapkan dari kampung halamannya. 

Harapan dari orang-orang di kampung halamannya itu tampak pada kepedulian mereka pada Roni, saat ia menikmati masa liburannya di kampung halamannya itu. 

Roni diperlukan sangat istimewa olah orang-orang sekampungnya, tidak seperti biasanya yang dialami oleh Roni sebelum ia menjadi biarawan. Orang-orang Wudu sangat menghargai para imam dan calon imam.

***

Waktu itu Roni masih duduk di bangku sekolah dasar. Terakhir kali Roni melihat sang ayah yang semangat dan rapi. 

Ayah Roni adalah seorang pengusaha ternama di kampungnya, selain pengusaha Ayah Roni sangat berperan penting dalam membangun kampung halaman mereka. 

Tak heran Ayah Roni selalu dihormati oleh orang-orang sekampungnya. 

Ayah Roni adalah orang yang rendah hati. Ia menasihati Roni agar tidak terpengaruh dengan popularitas  sang ayah. Pesan ini merupakan pesan terakhir dari sang ayah.

Siang itu matahari sangat panas. Kebetulan hari itu adalah hari pasar di kota kecamatan. Kendaraan roda dua maupun roda dua empat memadati jalan raya. Kira-kira tepat pukul dua belas. 

Roni menunggu jemputan dari sang ayah. Roni sudah sejam menunggu, namun ayah tak kunjung datang. 

Roni berpikir mungkin ayah lupa atau jangan-jangan ada kemacetan di jalan. Roni sudah sangat lapar.

Hari itu merupakan hari pertama Roni marah pada sang ayah karena telat menjemputnya.

Roni tak lagi punya uang untuk biaya angkot. Jarak rumah Roni dan sekolahnya satu kilometer jauhnya. 

Roni berpikir mungkin ayah lupa atau ayah sengaja. Sambil menarik napas panjang dengan penuh kesal Roni terpaksa berjalan kaki. Ketika ia hendak melewati pasar, ia melihat orang-orang sangat rami. 

“Biasanya jam-jam begini pasar sudah sepi”. Protes Roni namun, ia tidak memedulikan dengan langkah tertatih-tatih ia meneruskan perjalanannya.

Roni tidak peduli dengan kerumunan orang banyak itu. Namun ia merasa aneh melihat mobil ambulans datang ke tempat itu, dan mobil polisi mengikuti dari belakang. 

“Ini kasus perkelahian”. Roni memutar balik menuju orang bayak itu, sesampai di tempat itu orang itu mereka sudah masukan ke dalam ambulans itu segera pergi dengan terburu-buru.

Roni tidak memedulikannya ia meneruskan perjalanannya. Belum jauh dari tempat kejadian itu tiba-tiba mobil polis lewat dan mengangkut sebuah sepedar motor, sepeda motor mirip dengan sepada motor sang ayah. Tapi Roni tidak memikirkan hal yang aneh-aneh itu.

Setibanya di rumah tak ada seorang pun yang ada di rumah. Roni berpikir mungkin ayah dan ibunya belum pulang dari tempat kerja. 

Ketika Roni rehat sejenak, tante Susi tetangganya itu datang dengan wajah penuh kesedihan. “Ada apa tante?” tanya Roni penuh dengan keheranan. Tante Susi lari memeluk Roni. 

“Roni maafkan Tante. Ayah dan ibu kamu sekarang ada di rumah sakit, mereka kecelakaan di pasar tadi Roni. Ayah kamu dibunuh,” kata Tante Susi. 

Mendengar berita itu Roni diam membisu ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Roni segera ke rumah sakit. 

Setibanya di rumah sakit Roni tidak bisa menahan air mata, melihat kedua orang yang ia sayang terbaring kaku. 

Kata dokter ibu mengalami lumpuh, dan ayah tidak bisa tertolong lagi. Roni sangat terpukul mendengar hal itu. 

Ayah yang Roni agungkan dan banggakan hanya bisa terdiam membisu seribu
bahasa dan terbaring kaku dalam peti. “Selamat jalan Ayah.” Tangis Roni ketika berpisah dengan ayahnya untuk selama-lamanya. Roni kini tidak bisa berbuat apa-apa. 

“Kamu harus kuat Roni. Jangan putus asa tetap semangat, fokus pada pilihan saat ini.” Nasihat pak Joko teman akrab dari ayahnya Roni.

***

Roni tak seperti yang dulu lagi. Semangatnya mulai menurun, Roni sering terkurung dalam kamar. Ia tidak lagi menjalankan rutinitas seperti biasanya lagi. 

Roni kini sangat berubah semenjak kejadian itu. Ia pun memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan panggilannya sebagai biarawan. 

Keputusannya itu menggemparkan di kampung halamannya. Nama Roni sekejap mengudara. 

“Aku tahu ibu keputusan mengecewakan semua warga di kampung ini yang telah mendukung. Aku ingin membahagiakan ibu, aku tak tega melihat kondisi ibu saat ini,” ujar Roni. 

“Kamu harus tabah dan jangan cepat putus asa. Jangan kamu terpengaruh dengan bisikan orang kamu harus memberi yang terbaik, bagi siap saja. Ini keputusanmu kamu harus bahagia dengan pilihan dan apa yang telah kamu putuskan,” kata ibu sambil mencium kening putra tunggalnya itu.

Kini Roni menjadi tulang punggung keluarga. Ia dengan lapang dada menerima tugas sang ayah sebagai pengusaha di desanya. Bagi Roni ini tak mudah baginya. 

”Nak kamu harus menjadi pribadi yang tangguh. Dan jangan lupa nak minta doa dari ayahmu, untuk segala urusan yang akan engkau lakukan. Memang setiap pilihan adalah berat tetapi kamu harus katakan pada dirimu bahwa kamu bisa menghadapinya.” 

Roni harus melanjutkan usaha yang ditinggalkan oleh sang ayah. Roni menerima semuanya itu dengan penuh tanggung jawab.

***

Usaha Roni yang kecil sudah menguras perhatiannya yang memusingkan dahi dan pelipisnya, tapi tanpa ada sesuatu hal yang menjanjikan kepuasan, karena usaha Roni sungguh kecil. 

Berjam-jam sebelumnya ia harus menarik perasaan harus menyegarkan ingatan penjaga toko mengingatkannya terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul, dan menghitung pada setiap musim gaya pakaian musim mendatang, tidak untuk orang-orang di sekitar kotanya tapi untuk suku-suku terasing yang jauh terpencil di dusun.

Pendapatan Roni bergantung pada orang-orang asing, keadaan mereka tetap saja merupakan sebuah teka-teki bagi dirinya, tak dapat pula ia ramalkan terjadi musibah yang menimpa orang-orang itu atau bagaimana ia bisa menghindarkan. 

Virus memporak-porandakan kehidupan manusia tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Roni kini mulai putus asa.

Sudah dua bulan lamanya toko semata wayang di desa itu tidak dikunjungi oleh para pembeli. Ia yakin ini musibah baginya. 

“Itu pasti dia keluar dari biara,” kata seorang warga desa. 

“Biasa mulut orang kampung, kamu tidak usah putus asa, coba kamu mulai lagi masih ada kesempatan kok”. 

“Ibu aku tidak ingin lagi melanjutkan usahaku ini,” kata Roni di depan ibunya yang duduk di sampingnya. Ibunya hanya diam dan bergegas pergi dari hadapan Roni.

Dua bulan lamanya Roni tunduk pada situasi yang begitu ganas. Hanya doa yang ia lantunkan, besar harapan agar musibah yang melanda desanya segera berakhir.

***

Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu. Seberkas kilat menerangi wajah Ibu. “Ibu mau bicara padamu, Roni.”

“Saya juga ingin bicara pada Ibu,” kata Roni sambil mengelus tangan ibunya yang keriput.

“Ibu akan bicara dulu, Roni. Sesudah itu giliranmu.”

Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.

“Kamu sudah dewasa dan kamu sudah sukses sekarang. Sudah saatnya kamu mendiri dan bertanggung jawab dan mencari kekasihmu.”

“Ibu sudah tidak kuat lagi, Roni. Dan sebentar lagi Ibu tak akan lagi bersamamu. Sudah lama Ibu menderita semenjak kecelakaan bersama ayahmu. Dan kamu sudah lama berjuang sendirian.”

“Maafkan ibu nak," tangis ibu. 

“Ibu harus beritahu padamu yang membuat ayah dan ibu sampai begini. Tapi kamu harus memaafkannya. Dia adalah sahabat ayahmu.”

Mata Roni membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.

“Siapa laki-laki yang membuat kedua orang tuaku menderita?”

Air mata Roni tak terbendung lagi. Suara petir tidak lagi terdengar. 

Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi pengharapan jiwa
“Pak Joko...”

Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi... (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved