Opini

Opini: Surplus Informasi, Defisit Ide, dan Budaya Literasi

Setiap detik, jutaan informasi baru membanjiri ruang digital kita, mulai dari berita harian, unggahan media sosial, hingga kajian ilmiah terbaru.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Marianus Jefrino. 

Oleh: Marianus Jefrino, S.Fil
Staf Pengajar di SMA Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat dan alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores.

POS-KUPANG.COM - Tak dapat dimungkiri, kita hidup di zaman kelimpahan informasi dengan akses yang tak terbatas. 

Setiap detik, jutaan informasi baru membanjiri ruang digital kita, mulai dari berita harian, unggahan media sosial, hingga kajian ilmiah terbaru.

Namun, ironisnya, banyak dari antara kita yang memiliki akses ke data yang melimpah, tetapi minim kemampuan untuk mengelola, menganalisis, dan menghasilkan gagasan baru yang bermakna.

Sadar atau tidak, kita sering terjebak dalam siklus konsumsi informasi tanpa refleksi kritis, yang menghasilkan gagasan yang dangkal dan pemahaman yang terfragmentasi. 

Kita bisa menyaksikan bahwa ruang digital lebih banyak menampilkan konten yang bersifat banal, sensasional, atau bahkan palsu. 

Hal ini memicu penurunan kualitas pemikiran dan kurangnya ketajaman analisis, ditambah lagi dengan ketergantungan kita pada teknologi pencarian (seperti Google) dan algoritma media sosial. 

Ketergantungan semacam ini sering mempersempit pandangan kita dan menciptakan gelembung informasi yang hanya memperkuat keyakinan yang sudah ada. 

Di sini, kita menghadapi risiko besar terhadap ketidakberagaman pemikiran, yang merugikan kemampuan kita untuk melihat masalah dari berbagai perspektif.

Bahaya Kebanjiran Data

Surplus informasi menyebabkan manusia cenderung mengalami overload kognitif, di mana kemampuan otak untuk memproses informasi menjadi terbatas.

Dalam hal ini, muncul ketidakmampuan untuk mengeksplorasi ide dengan mendalam, karena otak lebih suka menyaring informasi secara dangkal. 

Lebih dari itu, terlalu banyak data tanpa arah atau tanpa konteks yang jelas dapat menyebabkan kelelahan informasi dan ketidakmampuan untuk menyaring informasi yang relevan.

Menurut David Shenk, dalam bukunya, Data Smog: Surviving the Information Glut, terlalu banyak informasi dapat menciptakan kebingungan dan kekacauan alih-alih pencerahan. 

Shenk menyebutnya data smog, sebuah istilah untuk menggambarkan kabut data yang membatasi kita dari pengambilan keputusan yang baik (Shenk, 1997: 30). 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved