Opini

Opini: Surplus Informasi, Defisit Ide, dan Budaya Literasi

Setiap detik, jutaan informasi baru membanjiri ruang digital kita, mulai dari berita harian, unggahan media sosial, hingga kajian ilmiah terbaru.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Marianus Jefrino. 

Metode ini bukan hanya meningkatkan kemampuan literasi kritis, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kreatif dan inovatif. 

Penelitian dari Stanford d.school menunjukkan bahwa metode berbasis desain berpikir (design thinking), yang melibatkan proses ide terstruktur, terbukti efektif dalam memicu inovasi dan pengembangan ide (Brown, 2009: 178).

Kedua, kesadaran teknologi. Masyarakat perlu lebih sadar akan dampak algoritma dan teknologi pencarian terhadap pola pikir kita. 

Inisiatif untuk melibatkan diri dalam sumber informasi yang beragam dan menghindari penghamburan Waktu di platform media sosial, yang tidak produktif menjadi kunci untuk mengatasi surplus informasi. Pentingnya kecerdasan menggunakan media sosial tidak dapat diabaikan.

Ketiga, pembangunan masyarakat. Masyarakat harus memprioritaskan pembangunan ruang intelektual, yang mempromosikan dialog dan diskusi yang bermakna. 

Ini dapat mencakup forum publik, serta keaktifan dalam platform daring yang mendorong pertukaran ide yang mendalam.

Akhirnya, era defisit ide dan surplus informasi membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup aspek pendidikan, teknologi, dan masyarakat. 

Dengan mempromosikan pemikiran kritis, kesadaran teknologi, dan pembangunan masyarakat, kita dapat mengubah surplus informasi menjadi kekayaan intelektual yang berarti, menciptakan masyarakat yang mampu menghadapi tantangan kompleks abad 21. 

Sekali lagi, defisit ide bukanlah hasil dari kurangnya informasi, melainkan ketidakmampuan kita untuk mengolah dan menghubungkan informasi tersebut menjadi pemahaman yang mendalam. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved