Opini
Opini: Surplus Informasi, Defisit Ide, dan Budaya Literasi
Setiap detik, jutaan informasi baru membanjiri ruang digital kita, mulai dari berita harian, unggahan media sosial, hingga kajian ilmiah terbaru.
Banyak orang memiliki akses ke informasi, tetapi sedikit yang benar-benar mampu memproses dan menerjemahkannya ke dalam ide-ide yang aplikatif.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, angka melek huruf di Indonesia memang tinggi, mencapai 97,93 persen.
Namun, angka ini tidak mencerminkan kualitas literasi kritis, yaitu kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi secara produktif.
Dalam konteks pendidikan, aplikasi budaya literasi sering kali hanya terbatas pada kegiatan membaca buku atau diskusi sederhana di sekolah.
Padahal, literasi sejati seharusnya mendorong siswa untuk berinovasi, memecahkan masalah, dan mengembangkan ide-ide kreatif.
Dalam hal ini, Finlandia, yang sistem pendidikannya diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia, bisa menjadi contoh.
Di Finlandia, budaya literasi didorong sejak dini dengan mengajarkan siswa tidak hanya membaca, tetapi juga untuk berdebat, berdiskusi, dan menghasilkan solusi berdasarkan apa yang mereka pelajari (Sahlberg, 2011: 67).
Menghidupkan Kembali Budaya Literasi
Literasi adalah kunci untuk mengubah surplus informasi menjadi sumber daya yang produktif.
Dalam konteks Indonesia, penting untuk menanamkan budaya literasi yang tidak hanya sebatas membaca dan menulis, tetapi juga melibatkan pemikiran kritis, analisis, dan inovatif.
Kita juga perlu memahami bahwa defisit ide bukanlah hasil dari kurangnya informasi, melainkan ketidakmampuan kita untuk mengolah dan menghubungkan informasi tersebut menjadi pemahaman yang mendalam.
Pertama, pendidikan kritis. Pendidikan harus dipusatkan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dan analitis, termasuk kemampuan untuk menilai sumber informasi, menyusun argumentasi, dan mengintegrasikan berbagai perspektif.
Dengan memberdayakan setiap orang untuk menjadi konsumen informasi yang kritis, kita dapat mengatasi defisit ide. Hal ini dapat dilakukan melalui program sekolah yang mendorong siswa untuk berpikir kritis.
Sekolah-sekolah perlu melibatkan siswa dalam proyek-proyek berbasis masalah yang nyata.
Misalnya, siswa dapat diminta untuk mengidentifikasi masalah di komunitas mereka, mengumpulkan data, menganalisisnya, dan kemudian menghasilkan solusi yang bisa diimplementasikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.