UMKM NTT
Kisah Ina Rihi dari Sabu Raijua, Mengolah Tuak jadi Gula Lempeng dan Gula Sabu
Proses memasak tuak, nira pohon lontar, untuk menjadi gula lempeng dan gula Sabu oleh warga Kabupaten Sabu Raijua.
Penulis: Agustina Yulian Tasino Dhema | Editor: Alfons Nedabang
Saat ini, harga gula sabu per liternya Rp30.000 yang biasa dijual para petani dengan harga Rp150.000 per jerigen lima liter.

Titus mengatakan, harga ini sebanding dengan usaha petani yang mempertaruhkan nyawa mereka saat menyadap tuak. Tetapi para petani juga harus memperhatikan daya beli masyarakat.
"Menurut saya, supaya ada nilai tambah gula Sabu adalah pengemasan, kemudian diolah menjadi gula semut karena banyak peminat gula semut. Orang tertarik, orang bisa belanja Rp100-Rp300 ribu untuk ole-ole," ujarnya.
Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Sabu Raijua, Laurens A Ratu Wewo mengatakan, memang saat ini jumlah penyadap lontar berkurang karena seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak anak-anak muda khususnya lelaki yang sudah bersekolah, menjadi sarjana tidak lagi belajar menyadap.
Mereka lebih cenderung menjadi seorang sarjana, pekerja kantoran, berusaha, dan kerja-kerja lain sehingga minat anak muda untuk menyadap sangat minim.
Laurens mengungkapkan, hasil produksi gula beberapa tahun belakangan menurun sekali. Hal ini terjadi karena transisi generasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, untuk menghidupi kembali budaya orang Sabu menyadap lontar harus ada edukasi kepada generasi-generasi muda sekarang. Karena penyadap lontar saat ini hanya generasi di bawah tahun 70-an sedangkan generasi di atas 90-an tidak berminat lagi.
Kondisi ini harus dilakukan langkah-langkah penyegaran untuk anak-anak muda bahwa secara historis, ada sumber hidup dari sadap pohon lontar dan nilai-nilai ini yang harus diangkat kembali.
Selain mengangkat nilai-nilai itu, gula sabu tidak hanya sekedar diolah menjadi gula tetapi harus diolah dalam bentuk makanan-makanan lain sehingga lebih mendapat peluang pasar dan adanya jaminan nilai ekonomis sehingga memicu orang untuk sadar dan mau untuk menyadap lontar. Kemudian harus adanya larangan terhadap masyarakat untuk tidak menebang pohon lontar untuk pekerjaan bangunan.
Berbeda dengan masa lampau, populasi pohon lontar di pulau Sabu saat ini sudah sangat terbatas. Penanaman bibit lontar baru hampir tidak ditemukan lagi di Sabu Raijua.
Sehingga lontar yang ada saat ini pada suatu kalau ditebang terus menerus akan terasa menjadi lebih kontras dengan selogan Sabu Raijua sebagai Pulau Sejuta Lontar dan bukan tidak mungkin lambat laun akan hilang bersama waktu.
Sehingga langkah-langkah ini harus dilakukan seluruh stakeholder baik pemerintah, tokoh masyarakat, bagiamana membangkitkan kesadaran pemuda bahwa ada kehidupan yang pasti dengan sadap lontar.

"Kalau pulau sejuta lontar ini mau lestarikan gula sabu sebagai produk lokal yang bernilai yang memiliki pasar yang jelas dan menjanjikan kehidupan di sana,"lanjutnya.
Terkait keberadaan dan eksistensi lontar hibrida ini belum ada contoh nyata di Sabu Raijua. Sehingga lebih menyetujui jika melakukan pembibitan-pembibitan lontar lokal yang ada di Sabu Raijua karena sudah teruji dan terbukti menjadi sumber kehidupan masyarakat Sabu hingga saat ini.
Selama ini ada anggaran untuk pemberdayaan penyadap lontar hanya sebatas pada membantu alat-alat sadap, alat-alat pengamanan diri saat menyadap tetapi tidak difasilitasi dengan bagaimana menyediakan pasar, bagaimana membuat makanan-makanan lokal dengan bahan dasar gula Sabu. Artinya, pemberdayaan ini belum maksimal.
Ia tidak menampik jika dalam pemberdayaan ini juga harus digenjot dengan biaya dan kebijakan-kebijakan teknis untuk menunjukkan keberadaan dan eksistensi gula Sabu.
Untuk peluang-peluang ekonomi ke depan harus dilakukan kebijakan-kebijakan khusus oleh pemerintah saat ini maupun pemerintah yang baru nantinya.
Ia berharap penyadap lontar dan gula Sabu ini harus terus dijaga, dilestarikan dan harus ada generasi yang terus berkelanjutan sebagai pengrajin atau penyadap. Sehingga eksistensi gula Sabu terus ada baik dalam menjaga ekonomi dan menjaga nama sabu sebagai pulau sejuta lontar.
Terlepas dari itu semua prospek gula Sabu memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menjanjikan kehidupan juga.
Baik sebagai pemerintah maupun masyarakat, hal ini harus terus menjadi perhatian serius semua pihak untuk terus mendorong eksistensi gula sabu sebagai sumber kehidupan. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
gula lempeng
Gula Sabu
gula air
Pohon Lontar
tuak
Sabu Raijua
Nusa Tenggara Timur
NTT
UMKM NTT
Kampung Nada
Desa Eimau
Sabu Tengah
Kisah Ina Rihi dari Sabu Raijua
Mengenal UMKM Vely's di Kota Kupang, Usaha Berbahan Kelor dan Sorgum |
![]() |
---|
Rujak Ulek Dapur Beta, Terinspirasi Ulek Sambil Dengarkan Musik |
![]() |
---|
UMKM NTT Kelompok Tenun Ikat Gading Taruna Bello Terima Pesanan Kain Sesuai Permintaan Konsumen |
![]() |
---|
UMKM NTT Dapoer Beta, Ciptakan Sensasi Makan Rujak Ulek yang Berbeda Sambil Dengarkan Musik |
![]() |
---|
UMKM NTT, Kebab Turki dan Hamburger Dapur Mama Ken Selalu Fresh Setiap Hari Hanya Rp 15.000 Saja |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.