Opini

Opini: NTT Menuju Satu Kesatuan Ekonomi Pariwisata

Potret NTT sebagai the ring of beauty itu suatu gambaran yang sangat menjanjikan, sebagai salah satu latar utama pesona pariwisata Indonesia. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
IIlustrasi. Pengunjung pose dengan latar belakang pemandangan Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. 

Secara teknis – struktural, pemerintah daerah memang diperhadapkan pada tantangan terkait “ Urusan Pemerintah pilihan” seperti hal bagaimana optimalisasi penerapan konsep comunity based tourism, pengembangan Program Desa Wisata atau gerakan memasyarakatkan pariwisata agar masyarakat NTT yang bercorak pencaharian Nelayan Tani Ternak merasakan pantulan imajinasi kesejahteraan dalam program strategis kepariwisataan nasional. 

Satu sisi harus mengikuti rambu rambu kebijakan strategis pusat dan di sisi lain harus punya kebijakan pilihan yang kuat untuk mem-back up kepentingan lokal dengan segenap aspek lokalitasnya.

Pemimpin daerah yang lemah hanya menampilkan potret pariwisata tercerabut dan sekaligus lahan basah operasi liar pasar pariwisata, yang pada akhirnya menyajikan kenyataan pahit tersingkirnya masyarakat lokal dari glamoria para investor. 

Pokok pikiran ini kiranya jadi bahan refleksi kebijakan pemerintah pusat pula.
 
Menyikapi "Ketercerabutan" Pembangunan

Pembangunan tentu jadi kata ramah bagi masyarakat. Ramah dalam percakapan politik dan konteks sehari-hari. 

Setidaknya itu bisa dipahami sebagai ekspresi atas kerinduan paling dalam dari masyarakat pada umumnya, yaitu Pembangunan. Lain ceritanya soal pro kontra atau aksi protes masyarakat dalam merespons pembangunan. 

Sebagian orang anggap itu sudah biasa, tetapi tidak berlebihan bila kita menyelami lebih dalam persoalannya adalah dimensi ketercerabutan, yaitu tertutupnya akses masyarakat dalam proses pembangunan baik perencanaan, pelaksanaan bahkan pemanfaatan sedemikian sehingga masyarakat menjadi korban dalam banyak aspek seperti masalah sosial budaya, lingkungan hidup, kearifan lokal dan sebagainya. 

Dengan kata lain, pembangunan tercerabut merujuk pada pembangunan yang tidak mengakar pada kepentingan masyarakat lokal.

Dalam konteks perkembangan pariwisata NTT, masyarakat akan berhadapan dengan tatanan baru seperti lingkungan ekonomi bisnis para investor dan dinamika akselerasi pembangunan. 

Perhatian kebijakan dan pembangunan mesti bertolak pada keutamaan bagi tatanan hidup masyarakat setempat.

Terhadap persoalan ketercerabutan ini, pertanyaan bukan lagi siapa yang salah, masyarakat yang lemah atau pemerintah yang KKN atau para mafia yang liar?

Pertanyaan kita sebenarnya adalah apa yang berfungsi baik sedemikian sehingga persoalan itu terjadi? 

Hemat penulis, birokrasilah yang bekerja. Watak birokrasi jadi sorotan, apakah alat yang bekerja untuk melegalkan kejahatan ( pelayanan konspiratif dengan para investor liar atau alat untuk melayani kepentinganmasyarakat ? )

Watak birokrasi nantinya berkaitan dengan sistem kepariwisataan yang kuat, terutama dalam merintangi kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Fenomena kebocoran pendapatan daerah atau maraknya investasi bodong pasar pariwisata adalah pantulan watak birokrasi. Pada titik ini, Pemimpin (daerah) harus punya pandangan yang kuat tentang reformasi birokrasi.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved