Opini
Opini: Demokrasi dalam Kebijakan Tong Sampah
Pajak dinaikkan di sisi lain memberatkan rakyat, sementara ruang fiskal lain justru dihamburkan untuk fasilitas pejabat.
Oleh: Marini Sari Dewi Seger
Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi rentetan kebijakan yang mengundang tanda tanya besar.
Kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota DPR, Kenaikan pajak yang timpang, hingga promosi pangkat luar biasa bagi polisi yang mengawal demonstrasi.
Deretan keputusan ini tampak hadir tidak dalam satu orkestrasi kebijakan yang indah, melainkan seperti potongan nada yang dimainkan asal bunyi.
Sembari menyaksikan protes akan kebijakan tersebut pada layar TV, saya melihat poster yang menggelitik bertuliskan #ResetIndonesia.
Baca juga: Opini - Krisis Etika dan Substansi di Panggung Politik Indonesia
Tulisan tersebut seperti menggambarkan bahwa kebijakan negara selama ini telah salah langkah dan reset atau mengatur ulang adalah jalan satu-satunya.
Lalu dalam perenungan muncul pertanyaan mengapa kebijakan yang menjadi senjata pemerintah menjadi unlogic dan unrational ?
Pertanyaan itu membuat saya teringat pada sebuah model kebijakan klasik yakni Garbage Can Model.
Ketika Masalah Bukan Lagi Masalah
Model ini lahir dari pemikiran Michael D. Cohen, James G. March, dan Johan P. Olsen pada tahun 1972.
Ia mengandaikan organisasi sebagai arena yang penuh ketidakpastian, di mana masalah, solusi, partisipan, dan kesempatan bertemu bukan karena perencanaan rapi, melainkan karena kebetulan seperti kumpulan sampah yang bertemu dalam tong sampah.
Dalam logika ini, kebijakan publik tidak selalu merupakan hasil analisis rasional terhadap masalah yang mendesak, melainkan hasil pertemuan acak antara “masalah” yang tersedia, “solusi” yang sudah disiapkan, “aktor” yang ingin tampil, dan “kesempatan” yang kebetulan terbuka.
Mari kita lihat fenomena kebijakan saat ini, alih-alih meringankan beban masyarakat kecil, kebijakan subsidi dan alokasi belanja negara justru kerap menguntungkan kelompok elite.
Pajak dinaikkan di sisi lain memberatkan rakyat, sementara ruang fiskal lain justru dihamburkan untuk fasilitas pejabat.
Publik geram dan frustasi. Demontrasi berjilid-jilid dalam waktu yang singkat namun justru kebijakan nyeleneh lagi-lagi dikeluarkan oleh para elite politik.
Marini Sari Dewi Seger
Universitas Nusa Cendana
Demokrasi
POS-KUPANG.COM
Kebijakan Publik
akuntabilitas politik
Opini Pos Kupang
etika politik
Opini - Sopi, Moke dan Angin Politik: Mabuk dalam Tiga Lapisan Refleksi Amsal 31:1–9 untuk NTT |
![]() |
---|
Opini: Signifikansi Perbaikan Tingkat Keterwakilan Anggota Legislatif Kita |
![]() |
---|
Opini: Janji Manis Sang Pengemis Kekuasaan |
![]() |
---|
Opini: Frustrasi Melahirkan Anarki, Benarkah Demokrasi Kita Telah Gagal? |
![]() |
---|
Opini: Maulid Nabi dan Tantangan Pendidikan Karakter di Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.