Opini
Opini: Realisme Pilgub NTT, Realisme Demokrasi
Sedangkan bagaimana Gubernur yang terpilih nanti menggunakan kekuasan untuk membangun kesejahtetaan rakyat, itulah baru sebuah demokrasi susbstansial.
Pandangan ini hanya bisa benar bila motif politik koalisi parpol di level provinsi adalah pembagian kekuasaan. Tetapi Indonesia bukan Negara Federal (federalisme) melainkan Negara Kesatuan (unitarisme).
Jadi, status provinsi bukan Negara Bagian, sehingga tidak ada urusan power sharing, bagi-bagi kekuasan kepada parpol seperti di pusat. Karena itu, dalam sistem unitarisme, koalisi parpol besar justru sebuah keuntungan besar.
Dengan koalisi besar terbentuk pula kekuatan politik besar di parlemen, sehingga semua program pembangunan yang pernah disampaikan dalam kampanye dapat dilaksanakan, karena didukung parlemen.
Sedangkan koalisi kecil, memang dapat mengusung Cagub, tapi lemah kekuatan politik di parlemen, karena jumlah kursi terbatas, kecuali koalisi kecil itu diusung oleh parpol pemenang mutlak pemilu di provinsi, jadi jumlah kursi besar sehingga menguasai mayoritas suara di DPRD Provinsi.
Akan tetapi, jika jumlah kursi terbatas, maka hampir pasti tidak dapat mewujudkan sepenuhnya program politiknya dan itulah yang membuat rakyat kecewa.
Dan, soal dukungan politik DPRD I di pemerintahan provinsi adalah persoalan politik riil dalam demokrasi di era reformasi ini.
Realitas politik terakhir, yang juga tidak bisa disangkal adanya, apalagi di era reformasi ini, adalah jejaring kekuasan politik dengan pusat.
Seperti disebutkan di atas, Indonesia menganut bentuk pemerintahan unitarisme, maka gubernur berperan sebagai kepala daerah di provinsi sekaligus sebagai perwakilan pusat di daerah.
Saya yakin, sebagian besar masyarakat NTT, terutama para abdi negara (PNS) di provinsi, tahu betul kondisi keuangan pemerintah Provinsi NTT saat ini.
Para birokrat dan parlemen NTT tahu betul kondisi ini: APBD NTT sedang tidak sehat, ditambah PAD (Pendapat Asli Daerah) rendah.
Lalu bagaimana membangun NTT? Jawabannya, ada dana DAU dan DAK. Betul. Namun kita semua tahu, matematika perhitungan DAU belum berubah, yakni berdasarkan jumlah penduduk.
DAU NTT kecil, karena penduduk NTT hanya 4 juta lebih. Sedangkan DAK adalah dana yang telah ditentukan oleh pusat, jadi Gubernur tidak dapat semaunya menggunakannya untuk mengeksekusi program pembangunan yang telah dijanjikannya dalam kampanye.
Jika kondisi APBD NTT sedang tidak baik-baik saja dan NTT masih provinsi miskin urutan ke-4 di Indonesia, lalu bagaimana Gubernur terpilih dapat mengeksekusi segala program yang disampaikan saat kampanye.
Jawaban secara politik, dalam kerangka bentuk unitarisme, satu-satunya jalan, adalah jejaring kekuasaan politik dengan pusat.
Konkretnya, karena itu, hanya Gubernur yang segaris atau sekoalisi kekuatan politik dengan presiden sebagai kepala pemerintahan yang dapat membangun komunikasi untuk mendapatkan perhatian khusus di luar saluran normal dana perimbangan keuangan pusat dan daerah (DAU dan DAK).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.