Cerpen
Cerpen: Panggil Saja Diasi Molas
Ada sesuatu di balik nama itu yang membuatku merasa terikat. Bayangkan, orang tuanya benar-benar menamai anak mereka cantik.
"Aku bukan seperti yang kau pikirkan. Namaku mungkin berarti cantik, tapi hidupku tidak seindah itu."
Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, dia berjalan pergi, menghilang di bawah hujan malam yang deras. Sejak malam itu, Diasi Molas tidak pernah terlihat lagi di desa kami.
Orang-orang mulai bercerita. Ada yang mengatakan dia pergi ke kota, ada pula yang percaya bahwa Diasi bukan manusia biasa.
Mereka mengatakan dia adalah penjelmaan roh yang terikat dengan tanah ini, membawa kecantikan yang tak pernah bisa diraih.
Kini, setiap kali aku berjalan di sepanjang ladang tempat kami dulu duduk, aku masih bisa merasakan kehadirannya.
Diasi Molas—sebuah nama yang tak hanya berarti cantik, tapi juga penuh misteri yang tak pernah bisa aku pahami sepenuhnya.
Sore itu, ketika matahari tenggelam di balik bukit, aku berdiri di tempat yang sama di tepi sawah, tempat kami dulu sering duduk.
Langit berwarna oranye, bayanganku terbentang panjang di atas tanah yang mulai basah setelah hujan.
Pikiranku kembali terpusat pada Diasi dan segala kebingungan yang pernah melingkupiku tentang dirinya. Sekarang, aku mengerti satu hal yang dulu tidak aku pahami.
Terkadang, kita terlalu cepat menilai seseorang dari luar, dari nama, penampilan, atau cerita yang kita dengar dari orang lain.
Kita terpaku pada apa yang kita lihat atau harapkan, dan sering kali lupa, setiap orang membawa ceritanya sendiri—sebuah beban, kesedihan, atau misteri yang tak tampak di permukaan.
Diasi Molas, dengan namanya yang berarti cantik ternyata bukan sekadar kecantikan fisik atau harapan kosong dari orang tuanya. Dia adalah cerminan kehidupan yang lebih rumit daripada yang terlihat.
Nama itu adalah kenangan, sebuah harapan yang mungkin tidak pernah tercapai, dan mungkin juga sebuah pemberontakan terhadap dunia yang hanya melihat apa yang indah di permukaan.
Aku menyadari, seperti kata-kata Diasi, bahwa orang-orang sering kali takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Mereka takut menggali lebih dalam, memahami hal-hal yang tersembunyi di balik kesan pertama.
Di situlah letak kebijaksanaan yang perlahan-lahan aku pelajari—bahwa hidup, seperti nama Diasi, penuh dengan misteri dan keindahan yang hanya bisa dipahami, jika kita bersedia melihat lebih dalam, melampaui yang terlihat.
Dengan senja yang semakin meredup, aku menatap hamparan sawah yang tenang, merasakan angin sore yang seolah-olah membawa pesan terakhir dari Diasi.
Kehidupan ini, seperti sawah yang luas, tak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Mungkin, itulah yang Diasi ingin aku pahami.
Bahwa setiap orang adalah cerita yang lebih dari sekadar nama, dan kecantikan yang sejati terletak dalam misteri dan kedalaman yang tersembunyi di dalamnya.
Aku menarik napas panjang, lalu berjalan pulang. Hujan telah berhenti, dan di kejauhan, pelangi mulai terbentuk.
Mungkin itu cara alam berbicara—bahwa setelah kesunyian dan misteri, selalu ada harapan yang terselip di ujung jalan. (*)
* Marianus Jefrino, S.Fil., adalah Pencinta Sastra, Alumnus IFTK Ledalero, dan Staf Pengajar di Sekolah Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.