Cerpen
Cerpen: Panggil Saja Diasi Molas
Ada sesuatu di balik nama itu yang membuatku merasa terikat. Bayangkan, orang tuanya benar-benar menamai anak mereka cantik.
"Itu Diasi Molas," jawabnya sambil menghisap rokok lintingannya.
"Perempuan paling cantik di desa ini. Tapi, kasihan, dia sebatang kara setelah orang tuanya meninggal."
Aku terdiam. Nama itu kembali terngiang di kepalaku. Diasi Molas. Dia benar-benar seorang perempuan, bukan hanya kalimat pujian.
Hari demi hari, aku mulai sering melihatnya. Setiap sore, dia akan berada di tepi sawah, sendirian, dengan tatapan kosong menatap horizon.
Ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Rasa penasaran bercampur kagum pada sosok yang seolah-olah tersembunyi di balik keheningan.
Suatu sore, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Jalan setapak di samping ladang yang biasa kulewati membawaku tepat ke sisinya. Dengan hati-hati, aku menyapanya.
"Diasi Molas?" suaraku terdengar sedikit gemetar, mungkin karena perasaan aneh yang selalu muncul saat menyebut namanya.
Dia menoleh perlahan. Matanya besar, jernih, namun ada sesuatu yang berbeda di sana, semacam kesedihan yang tak bisa dijelaskan.
"Siapa namamu?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan bahwa aku bukan sekadar orang lewat.
"Ben. Saya baru saja kembali dari merantau," jawabku.
Dia mengangguk kecil, tanpa ekspresi. Kami duduk di tepi sawah, memandang matahari yang mulai turun di balik bukit. Hening.
Tak ada percakapan panjang. Hanya keheningan yang aneh, namun entah mengapa menenangkan.
"Apa kau merasa aneh dengan namaku?" tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan yang tadi terasa nyaman.
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. "Sedikit. Awalnya aku pikir itu kalimat pujian, bukan nama."
Dia tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.