Breaking News

Cerpen

Cerpen: Panggil Saja Diasi Molas

Ada sesuatu di balik nama itu yang membuatku merasa terikat. Bayangkan, orang tuanya benar-benar menamai anak mereka cantik.

Editor: Dion DB Putra
Istock
Ilustrasi. 

Oleh: Marianus Jefrino

POS-KUPANG.COM - Ketika pertama kali mendengar namanya, aku merasa bingung. 

"Diasi Molas?" gumamku, mencoba mencerna makna di balik kata-kata itu. 

Dalam Bahasa Manggarai, Molas berarti cantik, dan seketika pikiranku berkecamuk. 

Apakah ini sebuah pernyataan? Kalimat pujian, untuk seorang perempuan yang memang cantik? 

Atau hanya permainan kata-kata yang dibuat orang untuk menciptakan kesan mewah?

Namun, ternyata itu benar-benar namanya. Bukan sekadar pujian, tapi identitas. Nama yang aneh, pikirku. Tapi aneh yang membuat penasaran. Diasi Molas. 

Ada sesuatu di balik nama itu yang membuatku merasa terikat. Bayangkan, orang tuanya benar-benar menamai anak mereka cantik.

Di kepalaku muncul spekulasi, mungkin mereka adalah orang tua yang penuh idealisme, membayangkan anak mereka akan tumbuh menjadi perempuan dengan segala kecantikan lahir dan batin— sebuah kemewahan hidup yang diimpikan setiap orang tua di kampung ini.

Aku tidak tahu pasti bagaimana wujudnya, ketika pertama kali mendengar nama itu, tapi rasanya seperti nama yang punya beban harapan, atau bahkan sebuah ramalan yang dipaksakan. 

"Apakah dia memang secantik namanya?" pikirku, sedikit skeptis.

Ketika akhirnya aku melihat Diasi untuk pertama kali, aku tersadar betapa salahnya penilaianku. 

Dia berdiri di tepi sawah, rambutnya yang hitam legam terurai ditiup angin, wajahnya dihiasi oleh sinar lembut matahari yang mulai tenggelam.

Tapi bukan kecantikannya yang mencuri perhatianku. Ada aura sunyi yang melingkupinya, seperti seseorang yang membawa beban yang tak kasat mata.

"Siapa dia?" tanyaku pada tetanggaku, Pak Niko, yang kebetulan sedang duduk di depan rumah ketika aku lewat.

"Itu Diasi Molas," jawabnya sambil menghisap rokok lintingannya.

"Perempuan paling cantik di desa ini. Tapi, kasihan, dia sebatang kara setelah orang tuanya meninggal."

Aku terdiam. Nama itu kembali terngiang di kepalaku. Diasi Molas. Dia benar-benar seorang perempuan, bukan hanya kalimat pujian.

Hari demi hari, aku mulai sering melihatnya. Setiap sore, dia akan berada di tepi sawah, sendirian, dengan tatapan kosong menatap horizon. 

Ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Rasa penasaran bercampur kagum pada sosok yang seolah-olah tersembunyi di balik keheningan.

Suatu sore, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Jalan setapak di samping ladang yang biasa kulewati membawaku tepat ke sisinya. Dengan hati-hati, aku menyapanya.

"Diasi Molas?" suaraku terdengar sedikit gemetar, mungkin karena perasaan aneh yang selalu muncul saat menyebut namanya.

Dia menoleh perlahan. Matanya besar, jernih, namun ada sesuatu yang berbeda di sana, semacam kesedihan yang tak bisa dijelaskan. 

"Siapa namamu?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan bahwa aku bukan sekadar orang lewat.

"Ben. Saya baru saja kembali dari merantau," jawabku.

Dia mengangguk kecil, tanpa ekspresi. Kami duduk di tepi sawah, memandang matahari yang mulai turun di balik bukit. Hening. 

Tak ada percakapan panjang. Hanya keheningan yang aneh, namun entah mengapa menenangkan. 

"Apa kau merasa aneh dengan namaku?" tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan yang tadi terasa nyaman.

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. "Sedikit. Awalnya aku pikir itu kalimat pujian, bukan nama."

Dia tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. 

"Orang tuaku menamakan aku begitu, berharap aku membawa kecantikan ke dalam hidup mereka. Tapi... kecantikan bukan segalanya."

Aku mengangguk, berpura-pura paham. Padahal di dalam hati, aku bertanya-tanya lebih dalam. Apakah nama itu menjadi beban bagi dirinya? 

Apakah dia merasa harus selalu memenuhi ekspektasi cantik yang melekat di namanya?

"Kenapa kau selalu sendiri?" tanyaku, memberanikan diri untuk lebih mengenalnya. Diasi menatapku sebentar, lalu memalingkan wajahnya ke arah sawah yang mulai gelap. 

"Karena orang-orang hanya melihat yang mereka inginkan. Mereka takut pada apa yang tidak mereka pahami."

Jawabannya membingungkanku. Namun, aku tidak ingin mendesaknya. Aku hanya duduk di sana, bersamanya, dalam diam yang semakin dalam. 

Beberapa minggu setelah pertemuan itu, aku semakin sering mencari Diasi. Kami tidak selalu berbicara, tapi kehadirannya menjadi bagian dari keseharianku. 

Namun, setiap kali aku mencoba mendekatinya lebih dalam, rasanya ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami. Aku merasakan ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Suatu malam, hujan deras mengguyur desa kami. Dengan perasaan khawatir, aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. 

Rumah tua di ujung desa itu sudah lama tidak berpenghuni sejak kematian orang tuanya. Namun, malam itu, ada cahaya yang samar terlihat dari dalam.

Aku mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Perlahan, aku membuka pintu dan masuk. Di dalam, ruangan itu kosong, hanya ada nyala lilin yang berkelap-kelip.

Tiba-tiba, aku mendengar langkah kaki di belakangku.

"Diasi?" panggilku dengan suara gemetar.

Dia berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kesedihan. "Aku sudah bilang, Ben. Orang-orang takut pada apa yang tidak mereka mengerti."

Aku mencoba mendekatinya, tapi dia menggeleng. 

"Aku bukan seperti yang kau pikirkan. Namaku mungkin berarti cantik, tapi hidupku tidak seindah itu."

Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, dia berjalan pergi, menghilang di bawah hujan malam yang deras. Sejak malam itu, Diasi Molas tidak pernah terlihat lagi di desa kami.

Orang-orang mulai bercerita. Ada yang mengatakan dia pergi ke kota, ada pula yang percaya bahwa Diasi bukan manusia biasa. 

Mereka mengatakan dia adalah penjelmaan roh yang terikat dengan tanah ini, membawa kecantikan yang tak pernah bisa diraih.

Kini, setiap kali aku berjalan di sepanjang ladang tempat kami dulu duduk, aku masih bisa merasakan kehadirannya. 

Diasi Molas—sebuah nama yang tak hanya berarti cantik, tapi juga penuh misteri yang tak pernah bisa aku pahami sepenuhnya.

Sore itu, ketika matahari tenggelam di balik bukit, aku berdiri di tempat yang sama di tepi sawah, tempat kami dulu sering duduk. 

Langit berwarna oranye, bayanganku terbentang panjang di atas tanah yang mulai basah setelah hujan.

Pikiranku kembali terpusat pada Diasi dan segala kebingungan yang pernah melingkupiku tentang dirinya. Sekarang, aku mengerti satu hal yang dulu tidak aku pahami. 

Terkadang, kita terlalu cepat menilai seseorang dari luar, dari nama, penampilan, atau cerita yang kita dengar dari orang lain. 

Kita terpaku pada apa yang kita lihat atau harapkan, dan sering kali lupa, setiap orang membawa ceritanya sendiri—sebuah beban, kesedihan, atau misteri yang tak tampak di permukaan.

Diasi Molas, dengan namanya yang berarti cantik ternyata bukan sekadar kecantikan fisik atau harapan kosong dari orang tuanya. Dia adalah cerminan kehidupan yang lebih rumit daripada yang terlihat. 

Nama itu adalah kenangan, sebuah harapan yang mungkin tidak pernah tercapai, dan mungkin juga sebuah pemberontakan terhadap dunia yang hanya melihat apa yang indah di permukaan.

Aku menyadari, seperti kata-kata Diasi, bahwa orang-orang sering kali takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Mereka takut menggali lebih dalam, memahami hal-hal yang tersembunyi di balik kesan pertama. 

Di situlah letak kebijaksanaan yang perlahan-lahan aku pelajari—bahwa hidup, seperti nama Diasi, penuh dengan misteri dan keindahan yang hanya bisa dipahami, jika kita bersedia melihat lebih dalam, melampaui yang terlihat.

Dengan senja yang semakin meredup, aku menatap hamparan sawah yang tenang, merasakan angin sore yang seolah-olah membawa pesan terakhir dari Diasi. 

Kehidupan ini, seperti sawah yang luas, tak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Mungkin, itulah yang Diasi ingin aku pahami. 

Bahwa setiap orang adalah cerita yang lebih dari sekadar nama, dan kecantikan yang sejati terletak dalam misteri dan kedalaman yang tersembunyi di dalamnya.

Aku menarik napas panjang, lalu berjalan pulang. Hujan telah berhenti, dan di kejauhan, pelangi mulai terbentuk. 

Mungkin itu cara alam berbicara—bahwa setelah kesunyian dan misteri, selalu ada harapan yang terselip di ujung jalan. (*)

* Marianus Jefrino, S.Fil., adalah Pencinta Sastra, Alumnus IFTK Ledalero, dan Staf Pengajar di Sekolah Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat.

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved