Opini
Opini: Ri'i, Diplomasi Lingkungan dan Peran Penting Generasi Muda
Di Ngada, terdapat Ri’i sebagai hukum dan ritual adat yang berisikan larangan untuk mengambil barang milik orang lain.
Ri’i juga penting dalam upaya menjaga dan melestarikan alam-lingkungan. Kelompok ini juga mengkritisi aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah yang sering tidak dipatuhi oleh masyarakat.
Oleh karena itu, Ri’i sangat diperlukan karena masyarakat Ngada yang masih berakar kuat pada budaya, cenderung lebih taat pada hukum atau perjanjian atau sumpah adat.
Kelompok ini menyetujui reboisasi sebagai cara menjaga dan melestarikan alam-lingkungan, tetapi Ri’i perlu terus ada untuk mengontrol perilaku masyarakat Ngada dalam relasinya dengan alam-lingkungan.
Ri’i sebagai Model Diplomasi Lingkungan
Sebagai kearifan lokal masyarakat Ngada yang kaya akan makna, Ri’i sangatlah penting.
Meski dalam survei di atas terdapat dua pandangan berbeda atasnya, yang mana dalam kedua pandangan itu terdapat niat yang sama untuk menjaga dan melestarikan alam-lingkungan, Tim Penulis menilai Ri’i sangatlah konstruktif dan mengusulkannya sebagai model diplomasi lingkungan.
Diplomasi lingkungan mengacu pada penggunaan diplomasi dan kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan lingkungan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Salah satu contoh awal diplomasi lingkungan dimulai pada tahun 1748 Ketika Frederick Agung merundingkan perjanjian damai dengan Kerajaan Saxony yang mana kedua negara sepakat untuk melestarikan hutan bersama.
Perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian internasional pertama yang mengakui pentingnya perlindungan lingkungan.
Perjanjian ini menjadi contoh bagi upaya diplomasi di masa depan dan menunjukkan kekuatan diplomasi lingkungan untuk menyelesaikan konflik dan meningkatkan kerja sama antarnegara (Kurbalija, 2020).
Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerjemahkan diplomasi lingkungan sebagai upaya yang dilakukan oleh seluruh aktor baik itu negara-negara, organisasi internasional, kelompok masyarakat, dan yang lainnya untuk mempromosikan kerja sama global dalam isu-isu lingkungan, seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, konservasi sumber daya alam, dan polusi.
Tujuannya ialah untuk mencapai kesepakatan, mengadopsi kebijakan, dan mengimplementasikan tindakan yang memperbaiki atau mengatasi masalah lingkungan secara bersama-sama (KLHK RI, 2024).
Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia mengingat kesadaran masyarakat dunia yang terus meningkat terkait isu lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK RI, 2022).
Sebagai bagian dari aktor diplomasi lingkungan, masyarakat Ngada tentu wajib menyukseskan agenda pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain menjalankan program-program pemerintah, upaya diplomasi lingkungan dapat dijalankan oleh masyarakat Ngada melalui kearifan lokal yang dimilikinya.
Dengan segala makna baik sosiokultural maupun ekologis yang terkandung di dalamnya, Ri’i dapat menjadi model dalam melakukan diplomasi lingkungan.
Ritual Ri’i memiliki peran penting dalam merawat kehidupan sosial serta menjaga keseimbangan ekosistem dan melestarikan sumber daya alam, khususnya keanekaragaman hayati.
Melalui Ri’i, masyarakat Ngada dapat mencapai 2 (dua) tujuan sekaligus. Di satu sisi menjaga kearifan lokalnya, di sisi yang lain mendukung upaya pelestarian alam- lingkungan.
Tantangan tentu saja ada, terutama yang datang dari generasi muda Ngada khususnya dan Indonesia umumnya.
Terdapat jarak antara generasi muda dengan kearifan lokalnya sendiri, pun terdapat penurunan kesadaran akan kelestarian alam-lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh teknologi dan perkembangan zaman.
Namun, sebagai generasi muda, Tim Penulis optimis. Generasi muda sebagai harapan bangsa dan negara tentu mencintai negeri ini dengan segala sumber daya dan alam-lingkungannya.
Memperkenalkan Ri’i sebagai model diplomasi lingkungan dalam artikel ini merupakan salah satu langkah konkret yang Tim Penulis lakukan.
Sebagai model diplomasi lingkungan, Ri’i sangat efektif. Jika pemerintah Indonesia mulai dari daerah sampai pusat mengadopsi kearifan lokal semisal Ri’i ini, Indonesia tentunya akan maju ke meja internasional dengan 2 (dua) keunggulan sekaligus.
Pertama, memperkenalkan kearifan lokal Indonesia (diplomasi budaya). Kedua, mempromosikan tindakan-tindakan konkret dalam menjaga kelestarian alam-lingkungan (diplomasi lingkungan).
Sedangkan untuk kepentingan dalam negeri, Ri’i dapat menjadi contoh agar daerah-daerah lain di Indonesia kembali kepada atau tetap melestarikan kearifan-kearifan lokal yang bermakna secara sosiokultural dan ekologis sekaligus.
Beberapa saran dapat diberikan. Pertama, pemerintah baik daerah maupun pusat perlu memperketat pelaksanaan regulasi dan undang-undang yang penting bagi kelestarian dan keberlanjutan alam-lingkungan. Sanksi dan hukuman mesti jelas dan tegas.
Pemerintah juga perlu membangun kerja sama dengan masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal semisal Ri’i yang amat mendukung upaya diplomasi lingkungan.
Kedua, generasi muda dengan jumlah populasi terbesar, baik Ngada khususnya maupun Indonesia umumnya, harus ambil bagian dalam merawat planet bumi dan menjaga kelangsungan hidup negara Indonesia.
Generasi muda sebagai harapan menuju Indonesia Emas 2045 tidak boleh tinggal diam. Melalui Ri’i sebagai model, generasi muda dapat secara aktif mempromosikan dan mensosialisasikan upaya diplomasi lingkungan dalam mengatasi triple planetary crisis. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.