Opini

Opini: Premanisme, Kebebasan Berekspresi, dan Pasang Surut Demokrasi

Aksi premanisme ini tidak hanya sekadar perusakan fisik, tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Marianus Jefrino. 

Oleh: Marianus Jefrino
Staf Pengajar di Sekolah Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat dan alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores.

POS-KUPANG.COM - Publik dikejutkan oleh insiden pembubaran paksa diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu pagi, 28 September 2024. 

Aksi premanisme ini tidak hanya sekadar perusakan fisik, tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Diskusi yang dirancang, untuk menjadi ruang dialog antara diaspora Indonesia dan tokoh-tokoh nasional, terkait isu kebangsaan dan kenegaraan berakhir ricuh, setelah sekelompok orang tak dikenal merusak panggung, menyobek backdrop, dan mengancam peserta. 

Ironisnya, aparat kepolisian yang hadir hanya menonton tanpa mengambil tindakan. Sebenarnya, fenomena ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri. 

Sebaliknya, ini adalah puncak gunung es dari serangkaian aksi premanisme yang terjadi sebelumnya, yang secara perlahan mempersempit ruang sipil dan memperburuk kualitas demokrasi di negeri ini. 

Misalnya, beberapa bulan sebelumnya, pada Mei 2024, acara People’s Water Forum (PWF) di Bali juga dibubarkan secara paksa oleh kelompok massa ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) dengan alasan menjaga keamanan selama World Water Forum. 
Aksi ini diiringi dengan intimidasi terhadap panitia dan peserta yang mencoba menyuarakan kritik terhadap privatisasi air. 

Tidak hanya itu, aksi serupa juga terjadi pada acara teatrikal Raja Jawa di Jakarta, 27 September 2024, di mana sekelompok orang tak dikenal merampas atribut massa aksi yang mengkritik kondisi demokrasi dan lingkungan (Tempo.co, 27/9/2024). 

Pertanyaan untuk kita: apakah ini menjadi gambaran surutnya demokrasi kita? Bagaimana premanisme bisa berkembang dalam ruang demokrasi, yang seharusnya melindungi kebebasan berekspresi

Premanisme: Gejala atau Simptom Surutnya Demokrasi?

Premanisme, dalam konteks ini, bukan hanya tentang kekerasan fisik, melainkan juga tentang cara intimidasi, ancaman, dan kekerasan psikologis digunakan untuk membungkam suara-suara yang dianggap kritis terhadap kekuasaan. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh SETARA Institute dalam Laporan Kebebasan Berekspresi di Indonesia 2024, tindakan premanisme semacam ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga merupakan teror terhadap kebebasan sipil. 

Pembiaran oleh aparat negara, yang disebut oleh Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, sebagai “Violation by Omission,” menunjukkan ada masalah mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia.

Premanisme yang digunakan, untuk membubarkan diskusi dan aksi-aksi protes mengindikasikan bahwa ruang sipil semakin menyempit, bahkan di era demokrasi. 

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh filsuf politik, John Stuart Mill, dalam karyanya berjudul, “On Liberty” (1859: 14--55), bahwa kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama demokrasi. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved