Opini
Opini: Premanisme, Kebebasan Berekspresi, dan Pasang Surut Demokrasi
Aksi premanisme ini tidak hanya sekadar perusakan fisik, tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
Ketika kebebasan ini mulai dirusak atau diancam, demokrasi dengan sendirinya akan mengalami degradasi. Dalam kasus Indonesia, aksi premanisme yang dibiarkan dan bahkan didukung oleh kekuasaan menjadi sinyal kuat bahwa demokrasi kita sedang mengalami kemunduran.
Kebebasan Berekspresi: Hak Fundamental yang Terancam
Kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Pasal 28E UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas memeluk agama, menyatakan pikiran, dan berorganisasi.
Selain itu, Indonesia merupakan penandatangan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dalam pasal 19 mengakui setiap orang berhak berpendapat dan berekspresi tanpa campur tangan pihak lain.
Hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan gagasan, baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk lain.
Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini sering kali dibatasi oleh kelompok-kelompok yang berusaha mempertahankan status quo atau memiliki kepentingan tertentu.
Sebagaimana diungkapkan oleh SETARA Institute (2024), tindakan premanisme yang membubarkan diskusi dan aksi protes adalah bentuk nyata penyempitan ruang sipil.
Dalam kasus People’s Water Forum, misalnya, kritik terhadap privatisasi air dianggap sebagai ancaman oleh kelompok tertentu, sehingga direspons dengan kekerasan dan intimidasi.
Ini mencerminkan bahwa ruang, untuk menyampaikan kritik di Indonesia semakin sempit, dan kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin oleh negara justru dilanggar.
Demokrasi yang Surut: Ke Mana Arah Indonesia?
Aksi-aksi premanisme yang semakin sering terjadi di Indonesia bukan hanya masalah hukum, melainkan juga mencerminkan masalah struktural dalam demokrasi kita.
Demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl, dalam On Democracy (1998: 45--55), membutuhkan ruang publik yang bebas dan terbuka, agar masyarakat dapat terlibat dalam diskusi yang kritis terhadap pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Ketika ruang ini direduksi, demokrasi secara otomatis mengalami kemunduran.
Mengapa premanisme ini terjadi di era demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan berbicara dan berkumpul?
Pertanyaan ini menggiring kita pada masalah mendasar tentang peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Di satu sisi, negara seharusnya menjadi penjamin kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Namun, ketika aparat negara memilih untuk tidak bertindak, atau bahkan terlibat dalam tindakan premanisme, maka terjadi apa yang disebut Hannah Arendt, dalam The Origins of Totalitarianism (1951: 450--470), sebagai “banality of evil,” yaitu ketika kejahatan menjadi begitu biasa dan diterima karena pembiaran oleh mereka yang berkuasa.
Mengembalikan Ruang Sipil dan Menegakkan Hukum
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.