Cerpen
Cerpen: Rakyat yang Lupa Tersenyum
“Apa gunanya semua ini kalau perut tetap kosong?” gumamnya sambil mengusap peluh di dahinya yang mulai memutih oleh usia.
“Saudara-saudara, tenang dulu. Kami mendengar keluhan kalian. Bupati sedang dalam perjalanan dari luar kota, dan akan menemui kalian nanti. Kami juga sedang berkoordinasi untuk mengatasi masalah irigasi dan distribusi air di desa-desa kalian.”
Tiba-tiba, dari arah belakang kerumunan, terdengar suara yang menyela pernyataan itu.
“Koordinasi, katamu? Itu yang kalian bilang lima tahun lalu! Sampai sekarang mana hasilnya?”
Kerumunan semakin riuh. Dorus berdiri, mendekat ke depan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara keras ia berkata, “Kami datang ke sini bukan untuk mendengar janji lagi, Pak! Kami mau aksi! Lihat tangan kami, lihat tanah kami yang kering! Apakah kami harus menunggu lima tahun lagi?”
Pak Mikhael terdiam sejenak, terlihat gugup. “Kami mengerti kesulitan kalian, Pak. Tapi masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Ada prosedur, ada aturan yang harus kami ikuti. Kami juga sudah berusaha maksimal”
“Sudah berusaha maksimal?” Mina, yang biasanya diam, tiba-tiba menyela. Suaranya lantang, penuh kemarahan yang lama terpendam.
“Kalau kalian sudah berusaha maksimal, kenapa perut kami masih lapar? Kenapa tanah kami masih kering? Janji kalian hanya omong kosong!”
Pak Mikhael semakin gelisah, dan suasana mulai tak terkendali. Beberapa warga mulai berteriak, menuntut jawaban yang lebih konkret.
Di tengah keributan itu, tiba-tiba sebuah mobil mewah meluncur masuk ke halaman kantor. Semua mata tertuju ke mobil tersebut. Bupati akhirnya tiba.
Bupati keluar dari mobil dengan wajah yang tampak segar, meskipun udara siang itu sangat terik.
Dia mengenakan pakaian dinas yang rapi, lengkap dengan pin di dada kirinya. Dengan langkah mantap, dia menuju ke kerumunan yang mulai hening.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan suara tegas, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
Dorus melangkah maju, mewakili para warga desa yang lain. “Pak Bupati, kami datang untuk menuntut janji. Janji irigasi, janji pupuk, janji kemakmuran. Kami sudah menunggu terlalu lama.”
Bupati mengangguk pelan, namun tetap tersenyum. “Saya mengerti kekhawatiran kalian.Tapi pembangunan tidak bisa dilakukan dengan cepat. Kami butuh waktu untuk menyelesaikan semua program.”
“Waktu? Berapa lama lagi, Pak? Lima tahun? Sepuluh tahun?” Dorus menatap tajam bupati itu. “Sementara kami terus kelaparan?”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.