Cerpen
Cerpen: Rakyat yang Lupa Tersenyum
“Apa gunanya semua ini kalau perut tetap kosong?” gumamnya sambil mengusap peluh di dahinya yang mulai memutih oleh usia.
“Mereka datang waktu butuh suara kita, Mina. Setelah dapat, mereka pergi. Yang tersisa hanya janji,” jawabnya pelan, suaranya penuh kepahitan.
Malam itu, di tengah desiran angin kering yang menyelip di antara dinding bambu rumah mereka, Dorus duduk di depan rumah.
Di atas meja kayu yang sudah lapuk, hanya ada sebutir jagung kering. Dorus menatap jagung itu seperti menatap nasibnya sendiri.
Desa ini pernah subur, dulu kala, sebelum alam menjadi keras dan politik berubah menjadi permainan para elit.
“Besok kita harus ke kota, Mina,” kata Dorus tiba-tiba, memecah keheningan malam.
Mina memandang suaminya dengan tatapan heran. “Ke kota? Untuk apa? Kita tidak punya uang.”
Dorus menggeleng. “Bukan untuk membeli. Aku mau ke kantor bupati. Mereka harus dengar suara kita.”
***
Keesokan harinya, dengan bekal seadanya, Dorus dan Mina berjalan kaki menuju kota, tempat kantor bupati berdiri megah di tengah keramaian pasar.
Jalan tanah yang berlubang dan berdebu menjadi saksi perjalanan mereka yang memakan waktu berjam-jam.
Sepanjang perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa tetangga yang juga sedang menuju kota dengan tujuan serupa: menuntut janji.
Sesampainya di kantor bupati, suasana sudah ramai. Puluhan orang dari desa-desa lain juga berkumpul di sana, semuanya dengan cerita yang hampir sama. Kekeringan, kelaparan, dan janji-janji yang tak ditepati.
Dorus dan Mina bergabung dengan kerumunan, menyaksikan perdebatan sengit antara rakyat dan beberapa pegawai pemerintahan yang tampak
kebingungan menghadapi massa.
Seorang pria berkemeja rapi keluar dari kantor dengan wajah tegang, mendekati kerumunan.
Dia adalah Pak Mikhael, salah satu pejabat di pemerintahan kabupaten. Dengan suara tegas, dia mencoba meredakan kerumunan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.