Cerpen
Cerpen: Rakyat yang Lupa Tersenyum
“Apa gunanya semua ini kalau perut tetap kosong?” gumamnya sambil mengusap peluh di dahinya yang mulai memutih oleh usia.
Oleh: Tian Rahmat,S.Fil
Alumnus IFTK Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret,Maumere
POS-KUPANG.COM - Suara denting cangkul menghantam tanah kering terdengar samar-samar di antara gumaman angin yang enggan mengusir panas dari ladang.
Di sebuah desa kecil di Pulau Flores, Dorus berdiri dengan punggung yang semakin melengkung, matanya memandang ke tanah kering di bawah kakinya.
Hujan yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, dan tanah semakin keras, retak-retak, seperti bibir rakyat yang lupa cara tersenyum.
“Apa gunanya semua ini kalau perut tetap kosong?” gumamnya sambil mengusap peluh di dahinya yang mulai memutih oleh usia.
Ia menatap istrinya, Mina, yang duduk di bawah pohon lontar, memandang langit dengan hampa.
Mina diam saja, pandangannya kosong, seakan-akan sudah tidak lagi mengharapkan jawaban dari pertanyaan yang sama, pertanyaan yang telah mereka ulang-ulang selama bertahun-tahun.
Mereka bukan satu-satunya keluarga yang hidup di atas tanah kering ini.
Desa mereka, Kampung Bea leteng, sudah lama dirundung masalah kekeringan yang tak kunjung usai.
Namun yang lebih menyakitkan dari kekeringan adalah janji-janji yang pernah diucapkan.
Janji dari orang-orang berseragam yang datang berbondong-bondong beberapa tahun lalu, membawa spanduk besar dan kata-kata manis.
Janji tentang irigasi, perbaikan jalan, dan pengadaan pupuk bersubsidi. Janji tentang kemakmuran.
“Kau masih ingat, Dorus, waktu itu” Mina akhirnya membuka suara, suaranya bergetar oleh emosi yang ia pendam lama.
“Mereka datang pakai mobil besar, menyalami kita dengan senyum lebar. Janji mereka tinggi-tinggi. Tapi lihat, apa yang kita dapat?”
Dorus menatap ke langit yang terus cerah, seperti menantang hujan yang tak pernah datang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.