Opini
Opini: Pilkada dan Revolusi Politik Perempuan di NTT
Bagaimana keterlibatan perempuan di panggung politik ini akan mempengaruhi wajah kepemimpinan dan kebijakan di masa depan?
Meskipun sebagian besar pemilih menyatakan siap memilih perempuan sebagai pemimpin, partai politik seringkali enggan mencalonkan perempuan karena dinilai memiliki elektabilitas yang rendah.
Hal ini menciptakan paradoks, di mana masyarakat terbuka terhadap pemimpin perempuan, tetapi struktur politik yang ada masih enggan memberi ruang yang setara bagi perempuan.
Banyak organisasi politik di NTT tidak menyediakan program khusus untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik.
Sementara partai-partai besar di Indonesia seringkali memiliki sayap perempuan di tingkat lokal, peran perempuan dalam partai politik diabaikan atau hanya dijadikan simbol.
Inilah cara oligarki bekerja yang bisa menghambat partisipasi perempuan dalam politik.
Mereka mengendalikan sumber daya ekonomi dan politik yang diperlukan untuk maju dalam arena politik. Dengan kekuasaan yang terpusat pada sekelompok elit, perempuan terhalang dari akses ke sumber daya penting.
Sampai di sini, teori Oligarki dari Jeffrey A. Winters benar adanya, bahwa politik di Indonesia, termasuk di tingkat lokal masih sangat dipengaruhi oleh segelintir elit yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan politik.
Perempuan, yang umumnya tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal jaringan politik dan finansial, seringkali berada di posisi yang lemah dalam kontestasi politik.
Hal tersebut diperparah dengan struktur budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat NTT.
Perempuan di NTT, atau seperti di wilayah lain di Indonesia, masih sering dianggap sebagai penjaga rumah tangga yang lebih cocok untuk peran domestik dari pada publik.
Perempuan tidak diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya di luar peran tradisional yang dikonstruksikan oleh budaya patriarki.
Akibatnya, mereka harus berjuang lebih keras untuk mendapat dukungan di ruang publik. Perempuan yang terlibat dalam politik kerap dianggap tidak sesuai kodrat, sebuah konsep yang dipengaruhi oleh pandangan tradisional tentang peran gender.
Benar apa yang ditegaskan oleh Sylvia Walby, seorang sosiolog terkemuka itu, bahwa patriarki tidak hanya terjadi di tingkat keluarga, tetapi juga di ruang publik, termasuk politik.
Stereotip dan norma tradisional yang mendalam ini memperkuat pandangan bahwa peran perempuan lebih baik berada di belakang layar daripada di depan.
Akademi Kepemimpinan perempuan NTT
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.