Opini
Opini: Pilkada dan Revolusi Politik Perempuan di NTT
Bagaimana keterlibatan perempuan di panggung politik ini akan mempengaruhi wajah kepemimpinan dan kebijakan di masa depan?
Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Administrasi Negara Universitas Nusa Cendana
POS-KUPANG.COM - Pilkada serentak di NTT tahun ini membawa angin segar dalam dinamika politik lokal.
Untuk pertama kalinya, sebelas perempuan—para srikandi —maju bertarung dalam kontestasi politik. Ini momentum penting bagi revolusi politik Perempuan di NTT, dalam upaya melawan struktur politik yang selama ini dikuasai oleh oligarki dan kekuatan patriarki.
Kehadiran perempuan bukan hanya sekadar angka, tetapi simbol perjuangan untuk mengambil peran penting dalam pengambilan keputusan politik. Sehingga Pilkada kali ini bukan sekadar kontestasi politik, melainkan pertaruhan masa depan kesetaraan di ranah politik NTT.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah ini awal dari transformasi sosial dan politik di NTT, atau justru hanya bagian dari tren sesaat?
Bagaimana keterlibatan perempuan di panggung politik ini akan mempengaruhi wajah kepemimpinan dan kebijakan di masa depan?
Dominasi Oligarki dan Kekuatan Patriarki
Partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia, meskipun mengalami kemajuan dari segi kuantitas, masih dihadapkan pada tantangan yang sangat kompleks.
Di Nusa Tenggara Timur misalnya, keterlibatan perempuan dalam politik menjadi cermin nyata dari masalah struktur yang lebih luas.
Perempuan berjuang di tengah kuatnya budaya patriarki, dominasi oligarki, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya politik.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), meski jumlah perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah meningkat dari tahun ke tahun, persentasenya sangat kecil dibandingkan laki-laki.
Hingga 2022, hanya 11,3 persen perempuan berhasil menduduki kursi kepala daerah di seluruh Indonesia.
Di NTT pada tahun-tahun sebelumnya, situasinya bahkan lebih parah, keterwakilan perempuan di ranah politik lokal yang masih terbilang minim.
Salah satu akar masalah utama adalah dominasi oligarki yang terlalu kuat. Oligarki di NTT bukan hanya soal dominasi finansial, tetapi juga soal kontrol atas struktur sosial dan politik.
Banyak partai politik tingkat lokal masih enggan mencalonkan perempuan sebagai kandidat utama, karena dianggap kurang kompetitif atau tidak memiliki dukungan masa yang cukup besar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.