Opini

Opini: Lanskap Kerawanan Pilkada 2024 di NTT

Bawaslu Provinsi NTT memotret kerawanan kontekstual berdasarkan aspek teknis elektoral dan aspek lokalitas kedaerahan. 

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ilustrasi. 

Pada Pemilu 2024 Pemungutan Suara Ulang (PSU) terjadi di 50 TPS yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota di NTT. 

Bentuk pelanggaran paling banyak terjadi yakni Pemilih Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menggunakan hak pilih dengan kategorisasi: Pemilih tidak memiliki KTP/Suket dilayani untuk memilih;
 
Penggunaan Kartu Keluarga sebagai syarat memilih, Pemilih berKTP Luar daerah atau beda Dapil (non-DPTb) dilayani untuk memilih, Pemilih DPTb diberikan lima surat suara atau surat suara tidak sesuai peruntukannya. 

Pemilih DPTb tidak dilayani sebagaimana waktu yang ditetapkan dan Pemilih DPK tidak dilayani sampai pada waktu pemungutan suara selesai.

Indikator ketiga, ketidaksesuaian jumlah surat suara yang diterima dengan yang dicetak, berkaca dari Pemilu 2024 lalu kasus tersebut terjadi pada surat suara Presiden/Wakil Presiden, DPD dan DPRD Provinsi di 20 Kabupaten/Kota. 

Hal ini disebabkan kekeliruan proses penyortiran logistik (Surat Suara)/ Penghitungan jumlah surat suara yang diterima oleh KPPS. 

Keempat, fenomena cuaca buruk hujan deras di seluruh wilayah NTT yang menghambat distribusi logistik pemungutan suara dan menyebabkan rusaknya perlengkapan pemungutan suara. 

Kelima, indikator ketidakpatuhan prosedur oleh KPU daerah dan jajarannya berpotensi terjadi di seluruh tahapan. Pada pemilu 2024, KPU daerah pada 12 Kabupaten/Kota terbukti melanggar administratif akibat menerapkan klarifikasi keanggotaan parpol menggunakan panggilan video. 

Keenam, keterbatasan akses pengawasan. Fenomena tersebut merugikan Bawaslu lantaran sistem informasi tahapan Pemilu seperti Sipol, Silon dan Sidalih menutup dokumen dan data pribadi milik anggota partai, bakal calon dan data pemilih sebagai objek pengawasan. KPU mendalilkan pembatasan itu pada UU Pelindungan Data Pribadi.

Indikator ketujuh, laporan/temuan dugaan politik uang di salah satu kabupaten di NTT. Selain praktik money politic secara konvensional, karakter sosial masyarakat NTT tidak lepas dari modus politik patronase dan klientelisme yang memanfaatkan jejaring sosial kekeluargaan, suku, kampung adat, dan keagamaan. 
  
Kedelapan, mobilisasi pemilih di wilayah perbatasan RI-Timor Leste. Kerawanan ini berkelindan erat dengan ciri geografis NTT yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. 

Merujuk hasil Riset Evaluasi Pemilu 2019 terbitan Bawaslu RI berjudul Menjamin Hak Pilih Di Tapal Batas Indonesia-Timor Leste  yang ditulis oleh Jemris Fointuna, ditemukan intensitas mobilitas warga perbatasan yang cukup tinggi ke Timor Leste maupun warga Timor Leste menuju wilayah NTT. 

Hal ini berkaitan dengan fakta historis kedua wilayah yang warganya masih memiliki hubungan kekeluargaan/kesukuan sehingga pola mobilitas didasari urusan keluarga maupun urusan sosial kemasyarakatan lainnya. 

Kondisi ini mengakibatkan masyarakat cenderung susah ditemui Penyelenggara Pemilu berkaitan pelaksanaan teknis tahapan seperti verifikasi faktual anggota partai dan pendukung calon perseorangan, pemutakhiran data pemilih, dan sosialisasi kepemiluan. 

Terindikasi pula potensi kecurangan dengan memobilisasi warga Timor Leste yang mempunyai dokumen KTP-el melalui jalur Pos Lintas Batas Negara (PLBN) untuk memilih di TPS area perbatasan. 

Indikator kerawanan kesembilan adalah pelanggaran netralitas ASN. Pada Pilkada 2020 di NTT total 63 kasus pelanggaran netralitas ASN diteruskan ke KASN untuk ditindaklanjuti. ASN seringkali terlibat politik praktis dalam momentum Pilkada baik secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar.  

Kepentingan akan perburuan dan mempertahankan jabatan maupun jalinan relasi kekerabatan dan kekeluargaan seringkali menjadi pemicunya. 

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved