Opini

Opini: Lamafa sebagai Model Kepemimpinan Maritim di Nusa Tenggara Timur

Semua anggota partai menyambut gembira dan penuh sukacita akan peristiwa politik yang ganjil ini. Bayangkan!

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ilustrasi. Puluhan leva alep atau nelayan tradisional Lamalera mendorong pledang (perahu tradisional) ke laut untuk memburu paus. 

Oleh Rinto Namang

POS-KUPANG.COM - Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia. 

NTT sebagai sebuah provinsi kepulauan merupakan suatu wilayah administrasi yang terdiri dari pulau-pulau, tiga di antaranya adalah Flores, Timor, dan Sumba. 

Sementara Indonesia sebagai sebuah negara merupakan kumpulan dari pulau-pulau yang jumlahnya belasan ribu. Tetapi mengapa hingga sekarang, kita masih berkutat dengan konsep daratan sebagai sumber kehidupan dan bukannya laut?

Ignas Kleden (2001) berasumsi bahwa kehidupan di laut tidak bisa memberikan kepastian seperti model pertanian di daratan yang pasti alur prosesnya mulai dari masa pembibitan, menanam, hingga memanen. 

Sementara kehidupan di laut lebih mirip kehidupan berburu dan meramu hasil hutan di daratan; orang datang mengambil hasil yang diberikan alam dan kemudian meninggalkannya. 

Namun, jika kita melihat tradisi lefa nuang (berburu paus) di Lamalera, kita mungkin bisa menunda anggapan tersebut di atas. Sudah sepatutnyalah kita mulai memikirkan suatu paradigma kepemimpinan yang berbasis pada kemaritiman ketimbang agraris. 

Pergeseran paradigma ini berdampak luas dalam seluruh sektor yang menopang pembangunan di wilayah kepulauan jika hal ini dilakukan mulai dari sektor pertanian dan peternakan, kehutanan, pariwisata, pertahanan dan keamanan, dan hasil produksi akan berubah orientasinya.

Selain itu, Ignas Kleden (2014) melihat satu hal yang pasti dari reorientasi paradigmatik tersebut adalah ikut bergesernya budaya politik dan kepemimpinan politik berlandaskan pertanian ke budaya politik dan kepemimpinan politik maritim.

Setidaknya ada tiga aspek yang bisa dipetik dari paradigma kepemimpinan maritim ini. Pertama, seorang kapitan perahu tidak dapat ditentukan saja dari atas (dropping), entah karena punya orang dalam, ataukah anak seorang presiden atau seorang pejabat negara. 

Kedua, dalam menghadapi krisis seperti topan atau gelombang besar, seorang kapitan perahu tidak bisa mengajak berunding para awak kapal selama beberapa jam atau menunggu tercapainya musyarawarah untuk mufakat sepanjang hari. 

Ketiga, seorang kapitan terikat oleh "sumpah jabatan" untuk tidak pernah lari dari perahunya ketika terjadi bencana; dia orang yang paling terakhir yang boleh menyelamatkan diri jika situasi memungkinkan.

Budaya politik dan kepemimpinan politik yang berbasis pertanian tidak lain adalah akar dari feodalisme yang masih bertahan hingga saat ini dan menjadi normal. 

Contoh soal, masifnya budaya nepotisme hampir terjadi di semua aspek kehidupan kita. 

Bayangkan, misalnya, ada seorang anak yang tidak memiliki rekam jejak di dalam bidang politik tiba-tiba bisa menjadi ketua partai hanya karena dia anak seorang pejabat di negeri ini. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved